Friday, July 27, 2012

finally done and finally submitted

Hey, you know, I finished the untitled project about Syiana last week. Well, kali-kali aja ada yang penasaran... :D Itu pun setelah cuti dari kantor empat hari dan mendapatkan begitu banyak peer pressure oleh orang-orang yang sudah membaca sebagian ceritanya.


Percayalah, peer pressure itu adalah hal yang paling efektif untuk menyelesaikan sebuah buku.


Anyhooo, setelah selesai (196 halaman A4, kayaknya bakalan harus banyak diedit, nih)--saya print beberapa copy, terus dijilid rapi (minta tolong pramubakti kantor--yeah, that's why cover belakangnya pake logo #bankbirukuning) dan saya bagikan ke beberapa teman kantor untuk direview dan dikomentari bagian mana aja yang logikanya ngaco. Some of them are not chicklit readers, witty, and sarcastic enough, jadi saya udah menyiapkan diri untuk  menerima komentar tajam dan nyinyir. Hehehe...


Tapi semalam, saya akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan draft ceritanya ke editor saya. Semalam sih, dia bilang masih baca bab-bab awal. Let's hope my manuscript could handle his high expectation and amuse him until the last chapter.


Sementara itu, kalau penasaran sama apa yang terjadi sama Syiana dan siapakah love interest-nya yang baru. Mungkin bisa baca first chapter-nya di sini. Kelanjutannya bisa dibaca di bawah ini.


-------------


I can taste the tension like a cloud of smoke in the air
Now I’m breathing like I’m running cause you’re taking me there
~ Domino, Jessi J


"Syiana."
Aku tersentak kaget dan berusaha mencari fokus. Rasanya nggak enak terlempar dari sesuatu di masa lalu untuk kembali ke masa kini. Entah kenapa tiba-tiba bayangan Yudha melintas di kepalaku. Sementara Di depanku, Fedrian, dengan wajah mengernyit memandangku dengan khawatir. "Lo nggak apa-apa?"
Aku reflek tersenyum. "Eh iya. Nggak apa-apa."
"Mikir apa?"
Aku menggeleng. "Nggak kok, nggak apa-apa."
Nggak habis pikir, bagaimana bisa di tengah-tengah kondisi kayak gini, bayangan masa laluku bersama Yudha terus menerus melintas. Tepat di saat aku merasa bahwa aku akan baik-baik aja. Yang ternyata ketika nggak sengaja mengingatnya dan hatiku masih terasa sakit membuktikan bahwa aku nggak baik-baik saja.
Untungnya Fedrian nggak bertanya lebih jauh. Ia kemudian menyendok nasi gorengnya dan memasukkan satu suapan ke mulut. "Ini enak."
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Kini menyuap satu sendok lasagna panas ke dalam mulutku dengan hati-hati. Lalu, di sela-sela kunyahan, "Gue suka tempat ini. Lucu ya? Cuma sempit banget."
"Gue rasa itu alasannya mereka ngasih nama tempat ini Ketjil Kitchen." Fedrian memamerkan senyuman lebarnya. Kali ini bukan senyuman asimetris-sombong-mematikan yang biasanya. Aku nggak tau dia punya senyuman jenis ini.
Fedrian membawaku ke restoran kecil bernama Ketjil Kitchen yang ada di kompleks Grand Lucky superstore di kawasan SCBD. Katanya ketika membelokkan mobil ke parkiran Grand Lucky, "Biar nggak kena macet, elo kan harus balik jam satu."
Bagus deh. At least dia mikirin kepentinganku juga.
"Lo pasti bertanya-tanya ya?"
Aku mengangkat alis. "Tentang?"
"Gue add di BBM."
Aku mengangkat bahu dengan carefree, "Oh, itu Danny kan yang ngasih."
"Nggak mau tahu alasannya?"
"Emangnya harus, ya?"
Fedrian mengangkat bahu, namun aku tahu itu tanda ia percaya diri. “Ya siapa tau aja mau tahu.”
“Kalau ternyata nggak?”
“Yakin?” alisnya terangkat dan senyuman asimetris itu kembali muncul.
Aku menelan lasagna sebelum menggelengkan kepala dan memasang wajah nggak ngerti. Mungkin mental artisnya terlalu melebur dalam karakternya sehingga nggak menerima jawaban yang nggak sesuai dengan keinginannya. Mungkin  aku harus menyinggung egonya sedikit. Sedikit aja. Maka aku menegakkan posisi dudukku lalu kemudian menatap matanya dan berkata dengan serius. "Listen, Fedrian. Just because you are the infamous Fedrian Arsjad of Dejavu doesn't mean I have to be interested in everything you say."
Aku mengharapkan reaksi apapun selain suara tawa yang bergema di sudut Ketjil Kitchen tempat kami duduk. Di luar dugaanku, Fedrian tertawa sampai bahunya terguncang. Ia mengelap bibirnya dengan tisu, menyesap lychee ice tea-nya sebelum berkata dengan nada takjub, “Entah kenapa, aku nunggu kamu bilang begitu.”
Lagi-lagi aku mengangkat alis. Mempertanyakan pernyataannya.
"Gue harusnya tahu lo berbeda.”
"Dalam hal?"
Fedrian menatapku takjub dan menjawab, “Sinis? Sarkastis?”
Aku tertawa sinis, “I have black belt in sarcasm.” Responku singkat.
Tapi ia nggak menanggapi perkataan sinisku barusan. Sebagai gantinya ia justru berkata, "Gue minta maaf, Syiana."
Aku melongo. Suapan lasagna-ku terhenti di depan mulut ketika mendengarnya mengatakan hal tersebut. Dari semua hal yang kuharapkan terjadi di dunia ini, aku sama sekali nggak mengharapkannya untuk mengatakan hal barusan.
"Untuk apa?"
"Untuk hal yang gue katakan sewaktu di Hong Kong." Ia berhenti sesaat, lalu, "Untuk nggak minta maaf pada kesempatan pertama waktu kita bertemu berikutnya."
Emagod.
Aku speechless. Is this for real?
Aku menatapnya nggak percaya. "Lo serius ngajak gue makan siang hanya untuk mengatakan itu?"
Fedrian berdeham. Lalu senyuman asimetrisnya kembali muncul sesaat sebelum ia berkata, "Nggak juga. Itu hanya alasan yang akan gue kemukakan pada saat lo bertanya kenapa gue ngajak lo makan siang."
My jaw almost dropped.
“Karena kenyataannya adalah,” ia berhenti sesaat. “—gue nggak punya alasan untuk mengajak lo keluar—selain karena gue memang ingin mengajak lo keluar." Ia tampaknya menekankan pada kata ‘memang ingin’.
Yang tiba-tiba membuat sekujur tubuhku panas dingin.
------------








No comments:

Post a Comment