Percayalah, peer pressure itu adalah hal yang paling efektif untuk menyelesaikan sebuah buku.
Anyhooo, setelah selesai (196 halaman A4, kayaknya bakalan harus banyak diedit, nih)--saya print beberapa copy, terus dijilid rapi (minta tolong pramubakti kantor--yeah, that's why cover belakangnya pake logo #bankbirukuning) dan saya bagikan ke beberapa teman kantor untuk direview dan dikomentari bagian mana aja yang logikanya ngaco. Some of them are not chicklit readers, witty, and sarcastic enough, jadi saya udah menyiapkan diri untuk menerima komentar tajam dan nyinyir. Hehehe...
Tapi semalam, saya akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan draft ceritanya ke editor saya. Semalam sih, dia bilang masih baca bab-bab awal. Let's hope my manuscript could handle his high expectation and amuse him until the last chapter.
Sementara itu, kalau penasaran sama apa yang terjadi sama Syiana dan siapakah love interest-nya yang baru. Mungkin bisa baca first chapter-nya di sini. Kelanjutannya bisa dibaca di bawah ini.
-------------
I can
taste the tension like a cloud of smoke in the air
Now I’m
breathing like I’m running cause you’re taking me there
~ Domino, Jessi J
"Syiana."
Aku
tersentak kaget dan berusaha mencari fokus. Rasanya nggak enak terlempar dari
sesuatu di masa lalu untuk kembali ke masa kini. Entah kenapa
tiba-tiba bayangan Yudha melintas di kepalaku. Sementara Di depanku, Fedrian, dengan wajah
mengernyit memandangku dengan khawatir.
"Lo nggak apa-apa?"
Aku reflek tersenyum. "Eh iya. Nggak apa-apa."
"Mikir apa?"
Aku menggeleng. "Nggak kok, nggak apa-apa."
Nggak habis pikir, bagaimana bisa di tengah-tengah
kondisi kayak gini, bayangan masa laluku bersama Yudha terus menerus melintas. Tepat
di saat aku merasa bahwa aku akan baik-baik aja. Yang ternyata ketika nggak
sengaja mengingatnya dan hatiku masih terasa sakit membuktikan bahwa aku nggak
baik-baik saja.
Untungnya Fedrian nggak bertanya lebih jauh. Ia kemudian menyendok
nasi gorengnya dan memasukkan satu suapan ke mulut. "Ini enak."
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Kini menyuap satu
sendok lasagna panas ke dalam mulutku
dengan hati-hati. Lalu, di sela-sela kunyahan, "Gue suka
tempat ini. Lucu ya? Cuma sempit banget."
"Gue rasa itu alasannya mereka
ngasih nama tempat ini Ketjil Kitchen." Fedrian memamerkan senyuman lebarnya. Kali ini bukan senyuman
asimetris-sombong-mematikan yang biasanya. Aku nggak tau
dia punya senyuman jenis ini.
Fedrian
membawaku ke restoran kecil bernama Ketjil Kitchen yang ada di kompleks Grand
Lucky superstore di kawasan SCBD.
Katanya ketika membelokkan mobil ke parkiran Grand Lucky, "Biar nggak kena
macet, elo kan
harus balik jam satu."
Bagus
deh. At least dia mikirin kepentinganku juga.
"Lo pasti bertanya-tanya ya?"
Aku mengangkat alis. "Tentang?"
"Gue add di
BBM."
Aku mengangkat bahu dengan carefree, "Oh, itu Danny kan yang ngasih."
"Nggak mau tahu alasannya?"
"Emangnya harus, ya?"
Fedrian mengangkat bahu, namun
aku tahu itu tanda ia percaya diri. “Ya siapa tau aja mau tahu.”
“Kalau ternyata nggak?”
“Yakin?” alisnya terangkat dan
senyuman asimetris itu kembali muncul.
Aku
menelan lasagna sebelum menggelengkan kepala dan memasang wajah nggak ngerti. Mungkin
mental artisnya terlalu melebur dalam karakternya sehingga nggak menerima
jawaban yang nggak sesuai dengan keinginannya. Mungkin aku harus menyinggung egonya sedikit. Sedikit
aja. Maka aku menegakkan posisi dudukku lalu kemudian menatap matanya dan
berkata dengan serius. "Listen,
Fedrian. Just because you are the infamous Fedrian Arsjad of Dejavu doesn't mean I have to be
interested in everything you say."
Aku
mengharapkan reaksi apapun selain suara tawa yang bergema di sudut Ketjil
Kitchen tempat kami duduk. Di luar dugaanku, Fedrian tertawa sampai bahunya terguncang.
Ia mengelap bibirnya dengan tisu, menyesap lychee
ice tea-nya sebelum berkata dengan nada takjub, “Entah kenapa, aku
nunggu kamu bilang begitu.”
Lagi-lagi
aku mengangkat alis. Mempertanyakan pernyataannya.
"Gue harusnya tahu lo berbeda.”
"Dalam hal?"
Fedrian menatapku takjub dan
menjawab, “Sinis? Sarkastis?”
Aku tertawa sinis, “I have
black belt in sarcasm.” Responku singkat.
Tapi ia nggak menanggapi perkataan sinisku barusan. Sebagai gantinya ia justru berkata,
"Gue minta
maaf,
Syiana."
Aku
melongo. Suapan lasagna-ku terhenti di depan mulut ketika mendengarnya mengatakan
hal tersebut. Dari semua hal yang kuharapkan
terjadi di dunia ini, aku sama sekali nggak mengharapkannya untuk mengatakan
hal barusan.
"Untuk
apa?"
"Untuk
hal yang gue katakan sewaktu di Hong Kong."
Ia berhenti sesaat, lalu, "Untuk nggak minta maaf pada kesempatan pertama
waktu kita bertemu berikutnya."
Emagod.
Aku
speechless. Is this for real?
Aku
menatapnya nggak percaya. "Lo serius
ngajak gue makan
siang hanya untuk mengatakan itu?"
Fedrian
berdeham. Lalu senyuman asimetrisnya kembali muncul sesaat sebelum ia berkata,
"Nggak juga. Itu hanya alasan yang akan gue kemukakan pada saat lo bertanya kenapa gue ngajak lo makan siang."
My
jaw almost dropped.
“Karena kenyataannya adalah,”
ia berhenti sesaat. “—gue nggak punya alasan untuk mengajak lo keluar—selain karena gue memang
ingin mengajak lo keluar." Ia tampaknya
menekankan pada kata ‘memang ingin’.
Yang tiba-tiba membuat sekujur tubuhku panas dingin.
------------
No comments:
Post a Comment