Friday, July 27, 2012

finally done and finally submitted

Hey, you know, I finished the untitled project about Syiana last week. Well, kali-kali aja ada yang penasaran... :D Itu pun setelah cuti dari kantor empat hari dan mendapatkan begitu banyak peer pressure oleh orang-orang yang sudah membaca sebagian ceritanya.


Percayalah, peer pressure itu adalah hal yang paling efektif untuk menyelesaikan sebuah buku.


Anyhooo, setelah selesai (196 halaman A4, kayaknya bakalan harus banyak diedit, nih)--saya print beberapa copy, terus dijilid rapi (minta tolong pramubakti kantor--yeah, that's why cover belakangnya pake logo #bankbirukuning) dan saya bagikan ke beberapa teman kantor untuk direview dan dikomentari bagian mana aja yang logikanya ngaco. Some of them are not chicklit readers, witty, and sarcastic enough, jadi saya udah menyiapkan diri untuk  menerima komentar tajam dan nyinyir. Hehehe...


Tapi semalam, saya akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan draft ceritanya ke editor saya. Semalam sih, dia bilang masih baca bab-bab awal. Let's hope my manuscript could handle his high expectation and amuse him until the last chapter.


Sementara itu, kalau penasaran sama apa yang terjadi sama Syiana dan siapakah love interest-nya yang baru. Mungkin bisa baca first chapter-nya di sini. Kelanjutannya bisa dibaca di bawah ini.


-------------


I can taste the tension like a cloud of smoke in the air
Now I’m breathing like I’m running cause you’re taking me there
~ Domino, Jessi J


"Syiana."
Aku tersentak kaget dan berusaha mencari fokus. Rasanya nggak enak terlempar dari sesuatu di masa lalu untuk kembali ke masa kini. Entah kenapa tiba-tiba bayangan Yudha melintas di kepalaku. Sementara Di depanku, Fedrian, dengan wajah mengernyit memandangku dengan khawatir. "Lo nggak apa-apa?"
Aku reflek tersenyum. "Eh iya. Nggak apa-apa."
"Mikir apa?"
Aku menggeleng. "Nggak kok, nggak apa-apa."
Nggak habis pikir, bagaimana bisa di tengah-tengah kondisi kayak gini, bayangan masa laluku bersama Yudha terus menerus melintas. Tepat di saat aku merasa bahwa aku akan baik-baik aja. Yang ternyata ketika nggak sengaja mengingatnya dan hatiku masih terasa sakit membuktikan bahwa aku nggak baik-baik saja.
Untungnya Fedrian nggak bertanya lebih jauh. Ia kemudian menyendok nasi gorengnya dan memasukkan satu suapan ke mulut. "Ini enak."
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Kini menyuap satu sendok lasagna panas ke dalam mulutku dengan hati-hati. Lalu, di sela-sela kunyahan, "Gue suka tempat ini. Lucu ya? Cuma sempit banget."
"Gue rasa itu alasannya mereka ngasih nama tempat ini Ketjil Kitchen." Fedrian memamerkan senyuman lebarnya. Kali ini bukan senyuman asimetris-sombong-mematikan yang biasanya. Aku nggak tau dia punya senyuman jenis ini.
Fedrian membawaku ke restoran kecil bernama Ketjil Kitchen yang ada di kompleks Grand Lucky superstore di kawasan SCBD. Katanya ketika membelokkan mobil ke parkiran Grand Lucky, "Biar nggak kena macet, elo kan harus balik jam satu."
Bagus deh. At least dia mikirin kepentinganku juga.
"Lo pasti bertanya-tanya ya?"
Aku mengangkat alis. "Tentang?"
"Gue add di BBM."
Aku mengangkat bahu dengan carefree, "Oh, itu Danny kan yang ngasih."
"Nggak mau tahu alasannya?"
"Emangnya harus, ya?"
Fedrian mengangkat bahu, namun aku tahu itu tanda ia percaya diri. “Ya siapa tau aja mau tahu.”
“Kalau ternyata nggak?”
“Yakin?” alisnya terangkat dan senyuman asimetris itu kembali muncul.
Aku menelan lasagna sebelum menggelengkan kepala dan memasang wajah nggak ngerti. Mungkin mental artisnya terlalu melebur dalam karakternya sehingga nggak menerima jawaban yang nggak sesuai dengan keinginannya. Mungkin  aku harus menyinggung egonya sedikit. Sedikit aja. Maka aku menegakkan posisi dudukku lalu kemudian menatap matanya dan berkata dengan serius. "Listen, Fedrian. Just because you are the infamous Fedrian Arsjad of Dejavu doesn't mean I have to be interested in everything you say."
Aku mengharapkan reaksi apapun selain suara tawa yang bergema di sudut Ketjil Kitchen tempat kami duduk. Di luar dugaanku, Fedrian tertawa sampai bahunya terguncang. Ia mengelap bibirnya dengan tisu, menyesap lychee ice tea-nya sebelum berkata dengan nada takjub, “Entah kenapa, aku nunggu kamu bilang begitu.”
Lagi-lagi aku mengangkat alis. Mempertanyakan pernyataannya.
"Gue harusnya tahu lo berbeda.”
"Dalam hal?"
Fedrian menatapku takjub dan menjawab, “Sinis? Sarkastis?”
Aku tertawa sinis, “I have black belt in sarcasm.” Responku singkat.
Tapi ia nggak menanggapi perkataan sinisku barusan. Sebagai gantinya ia justru berkata, "Gue minta maaf, Syiana."
Aku melongo. Suapan lasagna-ku terhenti di depan mulut ketika mendengarnya mengatakan hal tersebut. Dari semua hal yang kuharapkan terjadi di dunia ini, aku sama sekali nggak mengharapkannya untuk mengatakan hal barusan.
"Untuk apa?"
"Untuk hal yang gue katakan sewaktu di Hong Kong." Ia berhenti sesaat, lalu, "Untuk nggak minta maaf pada kesempatan pertama waktu kita bertemu berikutnya."
Emagod.
Aku speechless. Is this for real?
Aku menatapnya nggak percaya. "Lo serius ngajak gue makan siang hanya untuk mengatakan itu?"
Fedrian berdeham. Lalu senyuman asimetrisnya kembali muncul sesaat sebelum ia berkata, "Nggak juga. Itu hanya alasan yang akan gue kemukakan pada saat lo bertanya kenapa gue ngajak lo makan siang."
My jaw almost dropped.
“Karena kenyataannya adalah,” ia berhenti sesaat. “—gue nggak punya alasan untuk mengajak lo keluar—selain karena gue memang ingin mengajak lo keluar." Ia tampaknya menekankan pada kata ‘memang ingin’.
Yang tiba-tiba membuat sekujur tubuhku panas dingin.
------------









Read more!

Friday, July 20, 2012

another book's journey

Saya ingat hampir empat tahun lalu ketika pertama kali saya terlibat dalam project serial ini dan menemukan ini terpampang di toko buku:
GG seri pertama. Yeah, empat tahun lalu
Saya mengawali serial ini, dan ternyata empat tahun setelahnya saya yang mengakhiri serial ini juga. Udah lihat belum bukunya? Ini dia:
GG Impossible. Seri terakhir, empat tahun kemudian.
Pasti pada bertanya-tanya tentang kenapa saya lagi yang nulis GG seri terakhir ya, hehehe... Jadi begini ceritanya. Dulu, waktu pertama kali diajak join untuk project GG ini, Christian (as in Christian Simamora, yeah.. yang nulis buku-buku dewasa itu apparently adalah editor tercinta saya) mengumpulkan beberapa penulis untuk menulis tentang serial ini. Idenya sederhana, tentang satu gank cewek (you might use the word 'clique' to make it sound cool) yang terdiri dari tiga orang dan bersekolah di suatu sekolah eksklusif.


Saya kebagian karakter beta female, si Adrianna itu. Lalu kami harus ngumpulin detail tentang karakternya dengan cepat. Singkat kata, kami semua mengumpulkan detail karakter dan entah bagaimana ceritanya, karakter saya kebagian menjadi yang pertama terbit.


Sungguh deh, saat itu pertama kalinya saya merasakan yang namanya kopat-kapit dikejar deadline. Mengingat saat itu umur saya udah jauh dari yang namanya usia anak SMA, yaaaa.. susah juga ya nulis tentang anak SMA, hehehe... Tapi ya kalau dijalanin bakalan selesai juga. Akhirnya saya bisa juga serahkan draftnya kepada Christian.
Beberapa waktu kemudian, dia menelpon saya untuk memberikan kabar.


Christian: Eh, gue punya dua kabar nih, kabar baik dan kabar buruk. Lo mau kabar yang mana dulu? (Sesungguhnya kata-katanya lebih drama daripada ini, tapi hidup itu udah penuh dengan drama, nggak perlu kan dibikin drama lagi hanya untuk sebuah percakapan di blog)
Saya : Kabar baik aja deh.
Christian : Kabar baiknya, naskah lo disetujuin untuk terbit paling pertama. Dan akan terbit tiga bulan lagi.
Saya: Wah. Thankiesss. Terus kabar buruknya?
Christian: Kita nggak bisa pakai naskah yang lo submit kemarin karena ini ceritanya bermula dari awal mereka temenan. Sementara lo bikin ketika mereka udah temenan aja. Jadi, dahlin, lo harus bikin prekuelnya.
Saya: Maksudnya-harus-bikin-lagi-dari-awal? Yang-ini-nggak-kepake?


Jadi intinya, SAYA NULIS ULANG DARI AWAL AJA LHO!! 
Draft yang pernah disubmit nggak jadi terpakai.


Tapi seperti yang pernah dikatakan oleh Valiant Budi (a.k.a Vabyo atau Buhpy, dulu pernah jadi editor saya juga) ketika saya mampir di Warung Ngebul akhir tahun lalu, sesungguhnya draft yang udah kita buat dan nggak jadi diterbitin itu pasti nggak akn terbuang sia-sia begitu saja. Pasti akan ada saat yang tepat bagi draft tersebut untuk muncul.
Banyak yang bilang bahwa segala sesuatu itu indah pada waktunya. Pun draft cerita akan terbit pada waktunya :)))


Jadi, ketika Gagas mencari penulis untuk GG ke-6, saya mengajukan draft GG 1 untuk ditulis ulang dan dirapikan. Setelah disetujui, saya langsung ngerapiin draft ini. Yaaaah, kepotong sama deadline Fly to The Sky sih, tapi akhirnya selesai juga saya rapikan. Jadi, kalau menemukan banyak kesamaan dengan buku pertama GG, well you know lah. Huehuehue...


Tentang bukunya sendiri, sebenernya saya pengen sih nyeritain tentang apa... cuma TERUS BUAT APA DONG ITU DICETAK DAN DIJUAL DI TOKO BUKU??? ^^ Tapi, in short, ini adalah cerita tentang seorang cewek 17 tahun yang--errr... mendingan baca sendiri aja deh ya, hihihi (tetep aja jualan). 


Hope you enjoy it :)


-Nina-




Read more!

Thursday, July 12, 2012

progress?

165 halaman A4 and keep going.
Gimana ngeditnya ya? 

Emagod. Gue terlalu banyak ngoceh kayaknya ya.

Read more!

Tuesday, July 10, 2012

Happy Birthday GagasMedia

Posting ini sudah telat satu minggu. But there's a saying, better late than never. Jadi, lebih baik terlambat dibandingkan nggak sama sekali.


Berawal dari tadi pagi saya membaca posting mbak Windy Ariestanty tentang pengalamannya waktu diterima bekerja di GagasMedia, saya jadi ingat minggu lalu punya rencana untuk menulis tentang GagasMedia di hari ulang tahunnya--cuma ya biasa, kelibas urusan sana-sini terus lupa deh (sebenernya cuma sok sibuk aja sih), hehehe...


Kalau ngomong tentang GagasMedia, saya harus balik ke masa-masa kuliah di awal tahun 2000an (yeah, coba itu jangan ketawa. I am THAT old! Nggak perlu diingetin lagi...). Jadi, dari dulu I'm a sucker for books. Dari kecil saya membaca semua buku yang bisa dibelikan oleh orang tua, kakek-nenek, dan siapapun yang memberikan saya buku. Zaman SD-SMP saya suka banget buku-buku kayak Malory Towers, St.Claire, si badung, trio detektif, Lupus, Olga, Vladd, Vanya dan lain-lain yang sejenis. Kalau nggak percaya, seluruh buku itu masih tersimpan rapi di rumah dan saya lungsurin ke adik bungsu saya yang kebetulan memang suka membaca juga. Cuma yaaahh, terakhir kali dicek, warna kertasnya udah pada kuning gitu (yaeyalah, udah sekian belas tahun. Lebih tua dari adik bungsu saya kayaknya).


Masa-masa SMA dan kuliah, saya merasa kekurangan buku bacaan. Buku bacaan sesuai selera saya tentunya, yang mana nggak mungkin selera saya kayak buku pelajaran atau buku self-help atau psikologi (saat itu ngetrend banget Chicken-Soup-for-whatever-soul. It was just not my thing. Sampai kemudian saya meilhat ada penerbit baru yang menerbitkan buku. Saya lihat di sampul buku: GagasMedia, masih dengan logo lama yang bertuliskan GagasMedia secara lengkap dan bukan hanya huruf 'G' sebagai logo yang sekarang.
Tapi saya nggak berminat membacanya. Yah habisan nggak menarik gitu kayaknya. Baik dari sampul maupun dari isi. Kalau nggak salah waktu itu ada tentang Ali Topan atau apa gitu. Sastra lama banget yang saya sama sekali nggak minat baca. Huehuehue...


Kemudian datanglah Chicklit Indonesia Asli, buku yang paling fenomenal: Cintapuccino. Saya sampai beli dua kali itu buku (HAYO COBAK SIAPA YANG NGILANGIN CINTAPUCCINO SAYA NGAKUUUU!!!). Lalu saya lanjut beli  Jomblo-nya Mas Adhitya Mulya, Kok Putusin Gue-nya Mbak Ninit Yunita, dan sederet novel lain yang merupakan novel-novel terbitan awal GagasMedia. Eh, karena waktu itu saya masih kuliah dan nggak punya uang banyak, jadinya nabung tiap hari hanya supaya bisa beli novelnya Gagas. Untung dulu terbitnya nggak sebanyak sekarang, kalau nggak mungkin uang untuk buat maket atau ngeplot A0 di Buring bakalan habis. Saya inget banget, novel-novel yang saya suka itu Always, Laila-nya Andi Eriawan (uh, halo kang, dimana kamu sekarang?), Ei Tu Ze-nya Danni Jusuf, Test Pack-nya Ninit Yunita (saya bahkan punya COVER ASLINYA!) dan ada beberapa lagi. Semuanya masih tersimpan utuh, rapi dan disampul plastik.


Kemudian ada saat-saat dimana saya punya teman, tanpa sepengetahuan saya, mengirimkan draft naskah saya ke Mbak Icha Rahmanti, yang (lagi-lagi tanpa sepengetahuan saya) memberikan draft tersebut kepada Mbak Windy. Sehingga pada suatu sore, saya menerima telpon dari Mbak Windy, yang minta bertemu untuk membahas mengenai revisi novel saya.
Kalau saya bisa guling-guling mungkin saat itu saya udah guling-guling di jalanan depan kantor. Cuma kan, malu :D


Maka, Starbucks Plaza Semanggi menjadi saksi pertemuan pertama saya dengan Mbak Windy. Dan saat itu saya menerima masukan yang berarti, bagaimana membuat novel saya terlihat lebih menarik dan lebih baik. Malam itu, walaupun capek luar biasa, saya pulang dengan senang. Dan hampir satu tahun kemudian, buku tersebut ada di toko buku. Yeay!! Buku pertama saya: Simple Lie akhirnya terbit.


Dari titik saya bertemu dengan Mbak Windy sampai buku tersebut terbit, saya mengalami banyak hal dengan Gagas. Saya bertemu dengan keluarga besar Gagas karena saya bergabung menjadi salah satu anggota First Team Reader. Saya ingat banget tuh, diinterview sama Mbak Windy, Mas Denny, dan Mas Emka sambil memegang tabel berisi buku yang pernah saya baca. Terus ditanyain komentar mengenai buku-buku yang saya pernah baca. And that was fun.


Dan dari situ moment-moment bersama GagasMedia mewarnai hidup saya: saya bergabung dengan keluarga besar GagasMedia. Berdiskusi, bertukar pikiran, bercanda, bersahabat, termasuk juga berebutan makanan yang disediakan di sabtu sore ketika para first reader berkumpul. That was one of my best moments in my life. Belum lagi reading challenge yang diberikan Christian dalam rangka memperluas referensi menulis. Saya pernah dijejali setumpuk majalah dan novel-novel young adult untuk memperbanyak referensi. 


Buat saya, buku diterbitkan adalah hasil akhir, hal yang paling penting adalah proses ketika membuat dan menulis buku tersebut (termasuk di dalamnya dijutekin oleh editor karena sudah melewati deadline. Hey, saya nggak mensyen nama lho, Chris! ^^). Saya menulis sebagai bagian dari aktualisasi diri. dan ketika saya bisa berkembang selama proses pengaktualisasian diri tersebut, seharusnya itu sudah cukup. Diterbitkan adalah bonus :)
Satu yang saya ingat, waktu itu mbak Windy bilang ke Christian ketika saya menyerahkan draft Glam Girls (saya bahkan nggak tahu apakah mbak Windy dan Christian masih ingat akan hal ini): "Yang paling menyenangkan adalah ketika melihat penulis kita berkembang dan gaya menulisnya menjadi lebih baik."


Terima kasih GagasMedia sudah menemani saya berkembang selama tujuh tahun terakhir. I couldn't thank you enough. 


Selamat Ulang Tahun GagasMedia. 




-Nina-








Read more!

an excerpt of the untitled syiana's project

I'm working on my next book.
Ceritanya tentang Syiana, sahabatnya Edyta. I created them both years ago and they've been friends ever since (in my head, pastinya).


Ini adalah novel non-project pertama yang saya buat setelah lima tahun. Novel dewasa pertama pula. Eh, dewasa disini dalam artian--errr, yah udah dewasa gitu. Tapi jangan bayangin novel dewasa yang gimana-gimana ya, hehehe....


If you're interested, here's a chapter of The Untitled Syiana's Project. Kalau mau berkomentar, silakan.


----------------------------------------------



When a heart breaks, no it don’t breakeven
~ Breakeven, The Script




Causeway Bay, Hong Kong

”I am totally fine, Dyt. Bisa nggak sih lo berhenti memperlakukan gue kayak anak kecil?” Aku mengeraskan suara karena jalanan terdengar begitu ramai. Suara orang yang bersahutan bergabung dengan suara konstruksi bangunan di depanku membuat suara-suara lain terdengar kabur. ”Gila lo ya, hal terakhir yang gue butuhkan saat ini adalah kakak gue terbang dari Amsterdam ke Hong Kong!”
Aku mempercepat langkah dan dengan lincah menghindari sepasang laki-laki dan perempuan yang berjalan ke arahku dengan kecepatan tinggi. Gila ya para manusia di Hong Kong, nggak bisa jalan lebih pelan apa ya? I couldn’t compete with them. Padahal aku udah jalan secepat mungkin tanpa menggunakan high heels yang tersimpan rapi di dalam tote bag milikku. Mengantisipasi pedestrian traffic madness di jam-jam sibuk, untuk kebaikan diri sendiri, sebaiknya aku menggunakan flats.
Heartbroken, yes. Tapi lo nggak perlu khawatir gue melemparkan diri ke good-looking investment banker disini hanya karena patah hati.” aku melirik ke atas. Memastikan tanda bahwa tangga di depanku ini menuju MTR. ”Oh ya, sebagai informasi buat lo Dyt, gue training sampai malam dan dua malam terakhir ini dihabiskan berdua dengan Aulia. Lo nggak perlu khawatir.”
Aku mengarah ke eskalator turun, berhenti sesaat untuk memastikan Octopus Card sudah tersimpan aman di saku coat sebelah kiri, lalu bersama sejuta orang lainnya menjejakkan kaki di eskalator turun. Aku bergeser ke kanan untuk memberikan kesempatan orang yang hendak mendahuluiku bisa berjalan di sisi eskalator sebelah kiri.
Napasku agak sedikit terengah. Staminaku habis. Aku bahkan nggak bisa berjalan 100 meter dengan kecepatan konstan menyamai para manusia Hong Kong. Aku membuat mental note, nanti balik ke Jakarta, aku bakalan sering-sering jogging. Yeah, so much for promises.
”No. I didn’t.” aku tertawa. Belum kesana. Malam ini mungkin. Lan Kwai Fong agak jauh soalnya dari hotel.” aku membetulkan bag strap di bahu yang sedikit merosot. ”Walaupun satu-satunya alasan gue nggak kesana adalah karena jauh, Dyt. Bukan karena nggak mau, hehehe...
Aku masih mendengar Edyta mengoceh di telingaku. Pedas dan panas. Akhirnya, ketika aku melihat Aulia sudah berdiri menungguku di dekat eskalator menuju platform, aku memotongnya dengan, ”Dyt, cabs dulu ya. Udah ada Aulia disini, gue mau masuk MTR dulu.” dan aku menghentikan segala celotehannya dengan satu kata, ”Bye.” lalu memencet keypad BlackBerry yang berwarna merah, menaruhnya di saku coat dan tersenyum lebar kepada Aulia, ”Halo. Udah lama ya nunggunya?”
Aulia menggeleng. Hari ini ia memakai setelan jas yang seumur-umur aku nggak pernah lihat ia pakai kalau di Jakarta. ”Nggak kok, baru aja.”
”Eh, nanti malam enaknya kemana, ya?” aku bertanya sambil mulai berjalan beriringan bersama Aulia ke arah eskalator lain.
Aulia mengangkat bahu. ”Terserah aja sih. Cuma gue mau ketemuan sama temen gue dulu ya. Ternyata dia lagi dinas juga kesini.”
”Oh ya? Siapa?”
”Shazi, anak First Singapore Bank. Aulia mendahuluiku menuruni eskalator. Setelah kakinya menjejak, ia melanjutkan, ”Ternyata lagi ada Asia Banking Award, ya.”
Aku menanggapinya dengan mengangkat alis. ”Oh ya? Eh, temen lo itu FSB mana? Jakarta atau Singapur atau KL?”
”Jakarta. Nanti malam mau ketemuan di Central.” Aulia membalik badannya ke arah depan. ”Wanna join?”
Mengingat bahwa aku nggak ada rencana apapun dan malam ini adalah malam terakhir aku berada di Hong Kong, maka dengan ringan aku menjawab, ”Boleh aja sih. Tapi balik hotel dulu, ya?”
”Hah? Kenapa nggak langsung aja sih?” protes Aulia.
”Ya masa gue pake pakaian kantor gini. Nggak enak ah, gue kan ingin tampil cantik.” Aku mengedipkan mata ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Mana tas gue berat pula isinya materi training.”
Aulia membalik badannya kembali dan menatapku seksama. ”Kelihatan lebih cantik?” ia mengernyit. “Tumben nih. Sejak kapan lo dibrainwash sama iklan pemutih dan pelangsing?”
Aku nggak menjawab namun hanya menampilkan senyuman yang bertambah lebar. Ia lalu berkomentar lagi, “Kalau materi sih biar gue yang bawa gapapa. Langsung aja, ya, Yan? Gue males banget nih harus balik ke hotel.”
Aku mencibir, namun setelah beberapa saat aku mengalah, ”Iya, iya. But you owe me a drink.”
Done.” jawabnya cepat sambil nyengir lalu membalik badannya ke arah depan. Lalu menggeleng-geleng dengan takjub. ”You’re so easy, Syiana.”
Damn.

--------

Banyak orang yang bilang bahwa kalau kita menghadapi masalah, hadapi dan jangan lari. Karena kalau kita lari, masalah nggak akan pernah selesai. Memudar, tapi nggak akan pernah selesai. Tapi untuk kali ini aku nggak peduli. Aku hanya ingin menjauh dari Jakarta untuk beberapa waktu.
Kesempatan kabur dari Jakarta itu berbentuk training di Hong Kong. Aku pergi bersama Aulia, teman sebelah kubikelku, sejak hari Minggu pagi untuk training selama tiga hari. Rencananya sih akan pulang Kamis siang.
Sejujurnya, selama tiga hari training mengenai pengembangan produk dan strategi untuk bisnis kartu kredit, aku nggak menangkap esensinya sama sekali. Pikiranku melayang kemana-mana. Bahkan sampai sekarang aku nggak ingat nama cowok ganteng dari Maybank Kuala Lumpur yang duduk di sebelahku selama tiga hari berturut-turut. Padahal dari hari pertama dia udah ngajakin ngobrol dengan semangat.
“Lo tuh perlu distraction, Yan. Pengalih perhatian biar nggak mikirin Yudha melulu.” Aulia berkata kepadaku di sela-sela diskusi kelompok kami. “Lo tau, dia tuh berusaha ngajakin lo ngobrol. Dari hari pertama. Kenapa lo nggak nanggapin sih? Menurut gue lumayan, lho. Walaupun yah,“ Aulia berdeham sebentar. “—Malaysia sih ya. Agak susah.”
Aku nyengir. “Emangnya kenapa dengan Malaysia?” aku menatap Aulia dengan pandangan geli. “Oh, lo termasuk pendukung ‘Ganyang Malaysia?”
Aulia tersedak. “Bukan itu juga, sih.”
Sambil membuka-buka materi training untuk mencari insight atas pertanyaan yang ada di dalam diskusi, aku berbisik kepada Aulia. “Gue rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk memulai fling kepada orang yang tinggalnya berjarak dua ribu kilometer dari Jakarta. Lagi pula, kayak masalah gue nggak banyak aja.” Aku mendongak menatap si cowok Maybank sekilas. Wajahnya terlihat serius menatap materi training di hadapannya. He’s cute. “Ngomong-ngomong namanya siapa tadi?” aku mengedikkan bahu ke arah si cowok Maybank.
“Wira.” Aulia menjawab singkat. “Dia nyebutin nama panjangnya sih, cuma lo tau lah. Gue kan payah dalam ngingat nama orang.”
Aku nyengir.
“Jadi, gimana lo dan Yudha?” Aulia melemparkan pertanyaan lain.
Pertanyaan yang sama sekali aku nggak suka. Pertanyaan yang aku hindari untuk dijawab selama beberapa minggu belakangan ini. Pertanyaan yang—membuat aku kabur dari Jakarta.
Sebagai jawaban untuk Aulia, aku mengangkat bahu. “I don’t know.”
“Udah ngomong belum sama dia?”
“Emangnya perlu?” aku balas bertanya dengan nada sinis.
“Tapi udah tau apa yang lo mau?”
Aku menghela napas. Meletakkan pulpenku di atas meja dan menatap Aulia dengan serius. “Kalau lo jadi gue, apa yang akan lo lakukan?”
Aulia terdiam dan menatapku dengan pandangan memahami. Tapi ia sama sekali nggak berkata apa pun.
“Gue rasa lo udah tau apa jawaban gue kan, Au?”

-----------







Lan Kwai Fong
Central – Hong Kong

Aku membenarkan bag strap di bahuku yang melorot lalu melirik ke jam tangan. Duh, Aulia mana sih? Ini seharusnya ia sudah muncul lima belas menit yang lalu.
Sehabis training yang selesai pukul lima, aku berpisah dengan Aulia. Walaupun tadi Aulia menawarkan untuk membawakan materi training milikku, namun di detik-detik terakhir aku memutuskan untuk menolaknya. Bukan masalah materi training yang berat (kan udah janji dibawain sama Aulia), tapi lebih karena aku malas pakai baju kerja. Pengen ganti sesuatu yang lebih santai. Maka kini aku berdiri di pojok jalan, mengenakan dress putih dengan potongan rok model A, tight hitam, dan flat shoes. Berhubung ternyata udara nggak terlalu dingin dan nggak turun hujan (pertama kalinya setelah tiga malam, akhirnya langit cerah!), aku nggak memakai coat namun menyampirkannya di sela tote bag yang aku bawa.
Sebelum kami berpisah, Aulia mengatakan akan langsung ke Central membeli kado untuk pacarnya dan kami janjian ketemu langsung di Lan Kwai Fong sebelum bersama-sama bertemu Shazi. Janjiannya sih jam setengah delapan, tapi ini sudah lima belas menit berlalu, ia belum kelihatan sama sekali. Aku coba telpon tapi nggak aktif. Mudah-mudahan aja dia nggak kenapa-kenapa.
Aku memperhatikan jalanan yang penuh dengan bar dan kafe-kafe kecil. Aku selalu suka dengan jalan-jalan kecil di Hong Kong, termasuk daerah Lan Kwai Fong ini. Mengingatkanku pada Diagon Alley-nya Harry Potter, berkelok dan naik-turun. Suasananya mulai ramai oleh para pegawai kantor yang pulang kerja, beberapa malah masih mengenakan jas. Aku suka dengan gaya para laki-laki Hong Kong—memakai jas yang body fit membuat kadar kegantengan meningkat dua puluh lima persen. Sayang, di Jakarta kadang nggak feasible untuk pakai jas kemana-mana. Panasnya itu lho. Poor Jakarta’s men.
Terdengar suara-suara orang mengobrol di sekelilingku dalam berbagai bahasa. Percakapan dua Bapak-bapak yang berdiri di samping kiriku selama lima menit terakhir dilakukan menggunakan bahasa Spanyol sementara percakapan dua wanita semampai di samping kananku menggunakan bahasa Perancis. This place is just like a melting pot. Ini yang aku suka dari Hong Kong atau Singapura.
“SYIANA!!” aku mendengar suara familiar memanggilku. Aku mendongak dan menoleh ke arah asalnya suara. Terlihat Aulia melambaikan tangan kanannya ke arahku sementara tangan kirinya menenteng paper bag belogokan Coach. Oh, rupanya itu kado Aulia untuk pacarnya.
Aku balas melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. “Dari mana aja sih? Kok gue hubungin nggak bisa?”
Aulia, masih terengah, berdiri di hadapanku dan menjawab, “Batrenya habis. Dan gue nggak bawa colokan kaki tiga untuk ngecharge.”
“Lah, terus kita janjian sama Shazi gimana?” aku mengikuti Aulia yang mulai berjalan menyusuri trotoar.
“Tadi sebelum batre gue habis Shazi udah kirim email. Dia dan teman-temannya ada di The Cavern. Nah,“ Aulia berhenti untuk menungguku menyejajari langkahnya, “berhubung gue nggak tau The Cavern ada di mana, lo liat kanan-kiri ya. Gak lucu aja udah nyusurin sampe jauh, eh ternyata kelewatan.”
Aku mengangguk tanpa bersuara dan berjalan santai sambil menoleh ke kanan kiri. Memicingkan mata untuk mengetahui nama bar atau kafe di depan mataku. “Shazi sama siapa, Au?”
“Katanya sih sama temen-temennya. Anak-anak Jakarta yang datang ke Asian Banking Award.” Aulia menunjuk ke arah bar tepat di tanjakan. “Kayanya itu deh, ya? Bener nggak, Yan?” Aku melihat ke arah yang dimaksud, lalu mengangguk dan mempercepat langkah menyamai Aulia.
The Cavern nggak jauh berbeda dengan kebanyakan bar atau kafe yang bertebaran di di seputaran Lan Kwai Fong, namun satu yang aku perhatikan adalah adanya panggung kecil di mana saat ini terdapat band yang sedang membawakan ‘Secret’-nya OneRepublic dengan impresif.
Aulia memberikan jawaban bahwa sudah ada teman yang menunggu di dalam ketika waitress bertanya apakah kami sudah reservasi atau belum. Kami berhenti sesaat karena Aulia menoleh kanan-kiri untuk mencari Shazi. Berhubung aku belum tahu yang mana Shazi, maka yang aku lakukan hanyalah memperhatikan sekeliling dengan santai.
“Yuk, Yan.” Aulia mengajakku dan mengarah ke bagian samping. Aku mengikuti langkahnya dan nggak lama kemudian aku berdiri di hadapan seorang perempuan cantik dengan wajah yang menyerupai orang Arab. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Aulia dengan semangat dan memeluknya seolah sudah nggak bertemu selama seribu tahun.
“Eh Shaz, kenalin ini temen gue, Syiana.” Aulia memperkenalkan kami setelah Shazi melepaskan pelukannya. Shazi menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, “Eh, halo.” Ia menjabat erat tanganku. “Shazi.”
Aku membalas jabatan tangannya dengan firm lalu berkata, “Hai Shazi, Syiana.” Aku langsung menyukai aura bersahabat dari perempuan ini.
Aku mengambil tempat duduk di depan Shazi dan Aulia yang duduk bersebelahan kemudian memutuskan memesan satu gelas Perrier. Aku berencana untuk tetap sadar dan menghindari semua minuman yang mengandung alkohol. Okay, ini janjiku kepada Edyta, dan seorang perempuan harus menepati janji kepada sahabatnya.
Aulia mengangkat alis sambil tersenyum meledek ketika mendengar aku menyebutkan Perrier kepada waitress. Tapi aku hanya mengangkat bahu sambil melemparkan tatapan mematikan yang membuatnya nggak bertanya-tanya lagi.
 “Temen-temen lo mana, Shaz?” Aulia bertanya ketika waitress sudah pergi dan kami tinggal bertiga di meja berkapasitas enam orang ini.
Shazi mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan menyalakan pemantik. Setelah mengisap sesaat, ia menghembuskan asap, dan baru menjawab pertanyaan Aulia. “Abis antar klien lah ke hotelnya masing-masing. Bentar lagi juga nyampe kok. Hotelnya nggak jauh-jauh dari sini.”
“Emang kapan sih acara award-awardnya itu?” tanya Aulia sambil mengambil satu batang rokok milik Shazi.
“Semalam. Besok gue udah balik.”
“Eh, sama dong. Kita juga balik besok ya, Yan?”
Aku mengangguk.
Hening sejenak. Kami bertiga memerhatikan band yang kini membawakan lagu lawas milik Fastball, Out of My Head. Mengingatkanku pada masa-masa kuliah. Tanpa sadar aku menggumamkan lagu tersebut sambil mengetukan jari perlahan di atas meja.
Shazi menjentikkan abu rokok di asbak di hadapannya lalu menggerakkan kepala ke arah depan sambil berkata, “Itu dia teman-teman gue.” Shazi berdiri dari kursi dan melambaikan tangan dengan semangat, “Hai guys!”
Tepat setelah Shazi menyelesaikan kata-katanya, terdengar ada suara berat berteriak memanggil Shazi. Aku menoleh ke belakang dan mendapati dua orang laki-laki berjalan ke arah kami. Saat itu pula aku terdiam. Salah seorang teman Shazi yang baru datang juga terdiam dan menghentikan langkahnya.
Aku menoleh ke arah Aulia.
Panik.
----------


Hong Kong pada bulan April cuacanya cukup menyenangkan, walaupun kadang masih ada gerimis-gerimis yang kadang turun pada pagi atau sore hari. Selebihnya, raincoat free. Terakhir kali aku ke Hong Kong adalah tahun lalu, bulan April juga, bersama geng SMA-ku yang kini hidupnya sudah berpencar ke seluruh dunia. Anggaplah pertemuan di Hong Kong ini sebagai reuni. Edyta, Diana, Lellie, Rendi dan Pierre. Saat itu rasanya hidupku sempurna.
Kini tepat satu tahun kemudian, kembali di tempat yang sama, hidupku rasanya berubah 180 derajat. No more awesomeness.
Aku memasuki stasiun MTR Central dengan langkah cepat. Mengetatkan syal di sekeliling leher dan merasakan bahwa ada air mata yang mengalir pelan dari kedua sudut mataku. Malam ini stasiun MTR Central penuh banget. Aku berdesakan dengan segerombolan remaja yang heboh mengobrol dan satu keluarga yang tampaknya habis makan malam bersama.
Ponselku berbunyi dan bergetar nggak berhenti-henti sejak aku meninggalkan The Cavern dengan tiba-tiba dan aku sama sekali nggak ada niat untuk mengangkatnya.
This Hong Kong journey is supposed to be a getaway.
Aku melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan di Jakarta. Tapi yang terjadi adalah, kenyataan itu mengejarku sampai di sini.
Aku berdiri gelisah di peron selama beberapa menit. Sesekali menoleh ke belakang hanya untuk memastikan nggak ada yang mengikuti aku sampai sini. Nggak berapa lama, keretanya datang. Sambil melangkahkan kaki masuk, sekali lagi aku menoleh sekilas ke belakang, dan begitu pintu kereta menutup dan kereta mulai berjalan, aku menyenderkan diri ke tiang, menutup mata dan menghembuskan napas lega.
Dari semua kebetulan yang bisa terjadi di dunia ini, kenapa sih aku harus bertemu Yudha di sini? Kota yang sekian ribu  kilometer jauhnya dari Jakarta?
Aku benar-benar nggak nyangka kalau teman-temannya Shazi salah satunya adalah Yudha. Mungkin seharusnya aku tahu, mungkin seharusnya aku punya firasat. Maka yang terjadi berikutnya adalah aku dan Yudha sama-sama tertegun.
Saat itu seolah-olah semuanya terjadi dalam gerakan lambat.
Yudha menghampiriku dengan langkah ragu, aku bisa membaca gerakan bibirnya yang menyebutkan namaku. Saat itu pula aku berdiri, secepat kilat mengambil tote bag dan coat milikku yang tersampir di kursi lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar. Aku berjalan dengan begitu cepatnya, menembus jarak antara Yudha dan temannya, dan nggak mengurangi kecepatan sampai di stasiun.
So much for my getaway. Or runaway. Or whatever.
-------

Read more!

a book's journey

Dari dulu saya suka menulis. 
Menulis novel ya, bukan menulis yang serius gimana. Secara hobi saya baca novel yang happily ever after, hueheuhue. Alhamdulillah sejauh ini ada penerbit yang mau nerbitin karya-karya saya. Saya udah nulis sejak SMA. Saya ingat banget waktu itu saya bikin serial, tentang seorang cewek dengan kehidupan keluarga, sekolah dan sahabatnya. Saya dulu nulis di buku tulis, dengan tulisan tangan. Ditempelin gambar-gambar yang saya anggap mewakili cerita. Kemudian buku tersebut menyebar kemana-mana. Dibaca oleh banyak orang, teman sebangku, teman sekelas, sampai adik kelas. Dan saya tumbuh bersama si cewek itu. Dia naik kelas, saya naik kelas. Dia kuliah, saya kuliah. Dia punya pacar, saya---errr, nggak otomatis punya pacar juga sih. Heheheh...

Ketika saya diberikan kesempatan untuk menerbitkan sebuah buku, sayangnya saya nggak menulis tentang cewek ini. Entah kenapa, saya menulis tentang kakaknya, lalu kemudian saya terlibat proyek menulis lain yang tidak melibatkan dia. bahkan saya sempat vakum menulis selama tiga tahun.

Akhir tahun lalu, editor saya menawarkan untuk bergabung dalam sebuah project. Namanya GagasDuet. Katanya saya akan dipasangkan dengan penulis Gagas lainnya dalam sebuah buku. Mengingat ini adalah buku pertama setelah tiga tahun vakum, maka saya excited banget untuk menulisnya. Tapi karena  deadline yang mendesak, keterbatasan halaman (apalagi saya kan nulisnya berdua) dan  waktu yang terbatas, saya akhirnya memutuskan untuk mengangkat kisah cewek ini. 

Ada beberapa alasan, salah satu yang utama adalah menurut saya merencanakan dengan detail lata belakang dari si tokoh utama adalah hal yang paling menyenangkan. We can create anything we want about the characters. Bagaimana hidupnya, bagaimana fisiknya, bagaimana lingkungannya. Itu semua terserah kita. Kalau saya punya banyak waktu, biasanya saya akan duduk, minum kopi, berkhayal, sambil mencoret-coret notebook untuk merumuskan kayak apa sih karakter yang saya inginkan untuk buku ini. Namun sayangnya saya nggak punya waktu banyak. Maka, hal paling mudah yang saya lakukan adalah mengambil karakter cewek ini karena dia sudah hidup bersama saya sejak saya SMA. Well, itu agak hiperbolis sih, Cuma yaaahh, you know what I mean, kan...

Sekarang, dua belas tahun kemudian, cewek yang hidup bersama saya selama dua belas tahun terakhir ini, sudah punya buku sendiri. Yah, meskipun saya nulisnya berdua sih, but still I'm happy. Dan teman-teman yang dari dulu membaca serial tentang cewek ini, kebanyakan berkomentar, "Eh ini cerita tentang dia ya?" 

Wow. Nggak nyangka mereka masih ingat.
Jadi, setelah tiga setengah tahun, ini adalah buku pertama saya:



Tiap hari saya buka Goodreads untuk lihat, berapakah ratingnya saat ini? Huehuehue... yah maklum, udah lama nggak seantusias ini. Jadi, kalau udah baca, bisa review di Fly to The Sky on Goodreads. I really appreciate.

I'm working on next project. Kalau ada yang bertanya apakah akan ada lanjutannya Edyta, saat ini sih saya bilang belum, ya. But you know, you can always reevaluate these things. Jadi nggak tau apakah saya akan menjawab hal yang sama kalau ditanya enam bulan lagi misalnya. 

Selain Glam Girls: Impossible yang rencananya akan terbit Juli ini (I'll tell you about this book later. Next post, okay?), saya lagi nulis tentang sahabatnya Edyta seumur hidup, Syiana. Dan saya seneng banget dalam menulis The Untitled Syiana's Project ini. Mudah-mudahan bisa cepat selesai ya. Oh, dan saya berniat untuk memposting beberapa bab awal dalam ceritanya Syiana ini.

So, thank you readers, for reading my book. Membuat saya percaya diri, bahwa selain saya bisa menulis apa yang saya sangat nikmati, saya juga bisa membuat orang lain senang. Untuk semua yang sudah membaca dan membeli Fly to The Sky, saya berterima kasih banget. Reading your reviews made my heart warms.

Thank you. And thank you.


-Nina-


Read more!