I'm working on my next book.
Ceritanya tentang Syiana, sahabatnya Edyta. I created them both years ago and they've been friends ever since (in my head, pastinya).
Ini adalah novel non-project pertama yang saya buat setelah lima tahun. Novel dewasa pertama pula. Eh, dewasa disini dalam artian--errr, yah udah dewasa gitu. Tapi jangan bayangin novel dewasa yang gimana-gimana ya, hehehe....
If you're interested, here's a chapter of The Untitled Syiana's Project. Kalau mau berkomentar, silakan.
----------------------------------------------
When a heart
breaks, no it don’t breakeven
~ Breakeven, The Script
Causeway Bay, Hong Kong
”I am
totally fine, Dyt. Bisa nggak sih lo berhenti memperlakukan gue kayak anak
kecil?” Aku mengeraskan suara karena jalanan terdengar begitu ramai. Suara orang
yang bersahutan bergabung dengan suara konstruksi bangunan di depanku membuat
suara-suara lain terdengar kabur. ”Gila lo ya, hal terakhir yang gue butuhkan
saat ini adalah kakak gue terbang dari Amsterdam ke Hong Kong!”
Aku mempercepat langkah dan dengan lincah menghindari
sepasang laki-laki dan perempuan yang berjalan ke arahku dengan kecepatan
tinggi. Gila ya para manusia di Hong Kong, nggak bisa jalan lebih pelan apa ya?
I couldn’t compete with them. Padahal
aku udah jalan secepat mungkin tanpa menggunakan high heels yang tersimpan rapi di dalam tote bag milikku. Mengantisipasi pedestrian traffic madness di jam-jam sibuk, untuk kebaikan diri
sendiri, sebaiknya aku menggunakan flats.
”Heartbroken, yes.
Tapi lo nggak perlu khawatir gue melemparkan diri ke good-looking investment banker disini hanya karena patah hati.” aku
melirik ke atas. Memastikan tanda bahwa tangga di depanku ini menuju MTR. ”Oh
ya, sebagai informasi buat lo Dyt, gue training sampai malam dan dua malam
terakhir ini dihabiskan berdua dengan Aulia. Lo nggak perlu
khawatir.”
Aku mengarah ke eskalator turun, berhenti sesaat untuk
memastikan Octopus Card sudah tersimpan aman di saku coat sebelah kiri, lalu bersama sejuta orang lainnya menjejakkan
kaki di eskalator turun. Aku bergeser ke kanan untuk memberikan kesempatan
orang yang hendak mendahuluiku bisa berjalan di sisi eskalator sebelah kiri.
Napasku agak sedikit terengah. Staminaku habis. Aku
bahkan nggak bisa berjalan 100 meter dengan kecepatan konstan menyamai para
manusia Hong Kong. Aku membuat mental
note, nanti balik ke Jakarta, aku bakalan sering-sering jogging. Yeah, so much for promises.
”No. I
didn’t.” aku tertawa. ”Belum kesana. Malam ini mungkin. Lan Kwai Fong agak jauh soalnya dari
hotel.” aku membetulkan bag strap di
bahu yang sedikit merosot. ”Walaupun satu-satunya alasan gue nggak kesana
adalah karena jauh, Dyt. Bukan karena nggak mau, hehehe...”
Aku masih mendengar Edyta mengoceh di telingaku. Pedas
dan panas. Akhirnya, ketika aku melihat Aulia sudah berdiri menungguku di dekat
eskalator menuju platform, aku memotongnya dengan, ”Dyt, cabs dulu ya. Udah ada Aulia disini, gue mau
masuk MTR dulu.” dan aku menghentikan segala celotehannya dengan satu kata,
”Bye.” lalu memencet keypad BlackBerry
yang berwarna merah, menaruhnya di saku coat
dan tersenyum lebar kepada Aulia, ”Halo. Udah lama ya nunggunya?”
Aulia menggeleng. Hari ini ia memakai setelan jas yang
seumur-umur aku nggak pernah lihat ia pakai kalau di Jakarta. ”Nggak kok, baru
aja.”
”Eh, nanti malam enaknya kemana, ya?” aku bertanya sambil
mulai berjalan beriringan bersama Aulia ke arah eskalator lain.
Aulia mengangkat bahu. ”Terserah aja sih. Cuma gue mau
ketemuan sama temen gue dulu ya. Ternyata dia lagi dinas juga kesini.”
”Oh ya? Siapa?”
”Shazi, anak First Singapore Bank.” Aulia
mendahuluiku menuruni eskalator. Setelah kakinya menjejak, ia melanjutkan,
”Ternyata lagi ada Asia Banking Award, ya.”
Aku menanggapinya dengan mengangkat alis. ”Oh ya? Eh,
temen lo itu FSB mana? Jakarta atau Singapur atau KL?”
”Jakarta. Nanti malam mau ketemuan di Central.” Aulia
membalik badannya ke arah depan. ”Wanna
join?”
Mengingat bahwa aku nggak ada rencana apapun dan malam
ini adalah malam terakhir aku berada di Hong Kong, maka dengan ringan aku
menjawab, ”Boleh aja sih. Tapi balik hotel dulu, ya?”
”Hah? Kenapa nggak langsung aja sih?” protes Aulia.
”Ya masa gue pake pakaian kantor gini. Nggak enak
ah, gue kan ingin tampil cantik.” Aku mengedipkan mata ke arahnya sambil
tersenyum lebar. “Mana tas gue berat pula isinya materi training.”
Aulia membalik badannya kembali dan menatapku seksama. ”Kelihatan
lebih cantik?” ia mengernyit. “Tumben nih. Sejak kapan lo dibrainwash sama
iklan pemutih dan pelangsing?”
Aku nggak menjawab namun hanya menampilkan senyuman yang
bertambah lebar. Ia lalu berkomentar lagi, “Kalau materi sih
biar gue yang bawa gapapa. Langsung aja, ya, Yan? Gue males banget nih harus
balik ke hotel.”
Aku mencibir, namun setelah beberapa saat aku mengalah, ”Iya, iya. But you owe me a drink.”
”Done.”
jawabnya cepat sambil nyengir lalu membalik badannya ke arah depan. Lalu
menggeleng-geleng dengan takjub. ”You’re so
easy, Syiana.”
Damn.
--------
Banyak orang yang bilang bahwa kalau kita menghadapi
masalah, hadapi dan jangan lari. Karena kalau kita lari, masalah nggak akan
pernah selesai. Memudar, tapi nggak akan pernah selesai. Tapi untuk kali ini
aku nggak peduli. Aku hanya ingin menjauh dari Jakarta untuk beberapa waktu.
Kesempatan kabur dari Jakarta itu berbentuk training di Hong Kong. Aku pergi bersama
Aulia, teman sebelah kubikelku, sejak hari Minggu pagi untuk training selama tiga hari. Rencananya
sih akan pulang Kamis siang.
Sejujurnya, selama tiga hari training mengenai pengembangan produk dan strategi untuk bisnis
kartu kredit, aku nggak menangkap esensinya sama sekali. Pikiranku melayang
kemana-mana. Bahkan sampai sekarang aku nggak ingat nama cowok ganteng dari
Maybank Kuala Lumpur yang duduk di sebelahku selama tiga hari berturut-turut.
Padahal dari hari pertama dia udah ngajakin ngobrol dengan semangat.
“Lo tuh perlu distraction,
Yan. Pengalih perhatian biar nggak mikirin Yudha melulu.” Aulia berkata
kepadaku di sela-sela diskusi kelompok kami. “Lo tau, dia tuh berusaha ngajakin
lo ngobrol. Dari hari pertama. Kenapa
lo nggak nanggapin sih? Menurut gue lumayan, lho. Walaupun yah,“ Aulia berdeham
sebentar. “—Malaysia sih ya. Agak susah.”
Aku nyengir. “Emangnya kenapa dengan Malaysia?” aku
menatap Aulia dengan pandangan geli. “Oh, lo termasuk pendukung ‘Ganyang
Malaysia?”
Aulia tersedak. “Bukan itu juga, sih.”
Sambil membuka-buka materi training untuk mencari insight atas pertanyaan yang ada di
dalam diskusi, aku berbisik kepada Aulia. “Gue rasa sekarang bukan saat yang
tepat untuk memulai fling kepada
orang yang tinggalnya berjarak dua ribu kilometer dari Jakarta. Lagi pula, kayak
masalah gue nggak banyak aja.” Aku mendongak menatap si cowok Maybank sekilas.
Wajahnya terlihat serius menatap materi training
di hadapannya. He’s cute.
“Ngomong-ngomong namanya siapa tadi?” aku mengedikkan bahu ke arah si cowok
Maybank.
“Wira.” Aulia menjawab singkat. “Dia nyebutin nama
panjangnya sih, cuma lo tau lah. Gue kan payah dalam ngingat nama orang.”
Aku nyengir.
“Jadi, gimana lo dan Yudha?” Aulia melemparkan pertanyaan
lain.
Pertanyaan yang sama sekali aku nggak suka. Pertanyaan
yang aku hindari untuk dijawab selama beberapa minggu belakangan ini. Pertanyaan
yang—membuat aku kabur dari Jakarta.
Sebagai jawaban untuk Aulia, aku mengangkat bahu. “I don’t know.”
“Udah ngomong belum sama dia?”
“Emangnya perlu?” aku balas bertanya dengan nada sinis.
“Tapi udah tau apa yang lo mau?”
Aku menghela napas. Meletakkan pulpenku di atas meja dan
menatap Aulia dengan serius. “Kalau lo jadi gue, apa yang akan lo lakukan?”
Aulia terdiam dan menatapku dengan pandangan memahami. Tapi
ia sama sekali nggak berkata apa pun.
“Gue rasa lo udah tau apa jawaban gue kan, Au?”
-----------
Lan Kwai Fong
Central – Hong Kong
Aku membenarkan bag strap di bahuku yang melorot lalu melirik ke jam tangan. Duh, Aulia mana sih? Ini seharusnya ia sudah muncul lima belas menit yang lalu.
Sehabis training yang selesai pukul lima, aku berpisah dengan Aulia. Walaupun tadi Aulia menawarkan untuk membawakan materi training milikku, namun di detik-detik terakhir aku memutuskan untuk menolaknya. Bukan masalah materi training yang berat (kan udah janji dibawain sama Aulia), tapi lebih karena aku malas pakai baju kerja. Pengen ganti sesuatu yang lebih santai. Maka kini aku berdiri di pojok jalan, mengenakan dress putih dengan potongan rok model A, tight hitam, dan flat shoes. Berhubung ternyata udara nggak terlalu dingin dan nggak turun hujan (pertama kalinya setelah tiga malam, akhirnya langit cerah!), aku nggak memakai coat namun menyampirkannya di sela tote bag yang aku bawa.
Sebelum kami berpisah, Aulia mengatakan akan langsung ke Central membeli kado untuk pacarnya dan kami janjian ketemu langsung di Lan Kwai Fong sebelum bersama-sama bertemu Shazi. Janjiannya sih jam setengah delapan, tapi ini sudah lima belas menit berlalu, ia belum kelihatan sama sekali. Aku coba telpon tapi nggak aktif. Mudah-mudahan aja dia nggak kenapa-kenapa.
Aku memperhatikan jalanan yang penuh dengan bar dan kafe-kafe kecil. Aku selalu suka dengan jalan-jalan kecil di Hong Kong, termasuk daerah Lan Kwai Fong ini. Mengingatkanku pada Diagon Alley-nya Harry Potter, berkelok dan naik-turun. Suasananya mulai ramai oleh para pegawai kantor yang pulang kerja, beberapa malah masih mengenakan jas. Aku suka dengan gaya para laki-laki Hong Kong—memakai jas yang body fit membuat kadar kegantengan meningkat dua puluh lima persen. Sayang, di Jakarta kadang nggak feasible untuk pakai jas kemana-mana. Panasnya itu lho. Poor Jakarta’s men.
Terdengar suara-suara orang mengobrol di sekelilingku dalam berbagai bahasa. Percakapan dua Bapak-bapak yang berdiri di samping kiriku selama lima menit terakhir dilakukan menggunakan bahasa Spanyol sementara percakapan dua wanita semampai di samping kananku menggunakan bahasa Perancis. This place is just like a melting pot. Ini yang aku suka dari Hong Kong atau Singapura.
“SYIANA!!” aku mendengar suara familiar memanggilku. Aku mendongak dan menoleh ke arah asalnya suara. Terlihat Aulia melambaikan tangan kanannya ke arahku sementara tangan kirinya menenteng paper bag belogokan Coach. Oh, rupanya itu kado Aulia untuk pacarnya.
Aku balas melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. “Dari mana aja sih? Kok gue hubungin nggak bisa?”
Aulia, masih terengah, berdiri di hadapanku dan menjawab, “Batrenya habis. Dan gue nggak bawa colokan kaki tiga untuk ngecharge.”
“Lah, terus kita janjian sama Shazi gimana?” aku mengikuti Aulia yang mulai berjalan menyusuri trotoar.
“Tadi sebelum batre gue habis Shazi udah kirim email. Dia dan teman-temannya ada di The Cavern. Nah,“ Aulia berhenti untuk menungguku menyejajari langkahnya, “berhubung gue nggak tau The Cavern ada di mana, lo liat kanan-kiri ya. Gak lucu aja udah nyusurin sampe jauh, eh ternyata kelewatan.”
Aku mengangguk tanpa bersuara dan berjalan santai sambil menoleh ke kanan kiri. Memicingkan mata untuk mengetahui nama bar atau kafe di depan mataku. “Shazi sama siapa, Au?”
“Katanya sih sama temen-temennya. Anak-anak Jakarta yang datang ke Asian Banking Award.” Aulia menunjuk ke arah bar tepat di tanjakan. “Kayanya itu deh, ya? Bener nggak, Yan?” Aku melihat ke arah yang dimaksud, lalu mengangguk dan mempercepat langkah menyamai Aulia.
The Cavern nggak jauh berbeda dengan kebanyakan bar atau kafe yang bertebaran di di seputaran Lan Kwai Fong, namun satu yang aku perhatikan adalah adanya panggung kecil di mana saat ini terdapat band yang sedang membawakan ‘Secret’-nya OneRepublic dengan impresif.
Aulia memberikan jawaban bahwa sudah ada teman yang menunggu di dalam ketika waitress bertanya apakah kami sudah reservasi atau belum. Kami berhenti sesaat karena Aulia menoleh kanan-kiri untuk mencari Shazi. Berhubung aku belum tahu yang mana Shazi, maka yang aku lakukan hanyalah memperhatikan sekeliling dengan santai.
“Yuk, Yan.” Aulia mengajakku dan mengarah ke bagian samping. Aku mengikuti langkahnya dan nggak lama kemudian aku berdiri di hadapan seorang perempuan cantik dengan wajah yang menyerupai orang Arab. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Aulia dengan semangat dan memeluknya seolah sudah nggak bertemu selama seribu tahun.
“Eh Shaz, kenalin ini temen gue, Syiana.” Aulia memperkenalkan kami setelah Shazi melepaskan pelukannya. Shazi menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, “Eh, halo.” Ia menjabat erat tanganku. “Shazi.”
Aku membalas jabatan tangannya dengan firm lalu berkata, “Hai Shazi, Syiana.” Aku langsung menyukai aura bersahabat dari perempuan ini.
Aku mengambil tempat duduk di depan Shazi dan Aulia yang duduk bersebelahan kemudian memutuskan memesan satu gelas Perrier. Aku berencana untuk tetap sadar dan menghindari semua minuman yang mengandung alkohol. Okay, ini janjiku kepada Edyta, dan seorang perempuan harus menepati janji kepada sahabatnya.
Aulia mengangkat alis sambil tersenyum meledek ketika mendengar aku menyebutkan Perrier kepada waitress. Tapi aku hanya mengangkat bahu sambil melemparkan tatapan mematikan yang membuatnya nggak bertanya-tanya lagi.
“Temen-temen lo mana, Shaz?” Aulia bertanya ketika waitress sudah pergi dan kami tinggal bertiga di meja berkapasitas enam orang ini.
Shazi mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan menyalakan pemantik. Setelah mengisap sesaat, ia menghembuskan asap, dan baru menjawab pertanyaan Aulia. “Abis antar klien lah ke hotelnya masing-masing. Bentar lagi juga nyampe kok. Hotelnya nggak jauh-jauh dari sini.”
“Emang kapan sih acara award-awardnya itu?” tanya Aulia sambil mengambil satu batang rokok milik Shazi.
“Semalam. Besok gue udah balik.”
“Eh, sama dong. Kita juga balik besok ya, Yan?”
Aku mengangguk.
Hening sejenak. Kami bertiga memerhatikan band yang kini membawakan lagu lawas milik Fastball, Out of My Head. Mengingatkanku pada masa-masa kuliah. Tanpa sadar aku menggumamkan lagu tersebut sambil mengetukan jari perlahan di atas meja.
Shazi menjentikkan abu rokok di asbak di hadapannya lalu menggerakkan kepala ke arah depan sambil berkata, “Itu dia teman-teman gue.” Shazi berdiri dari kursi dan melambaikan tangan dengan semangat, “Hai guys!”
Tepat setelah Shazi menyelesaikan kata-katanya, terdengar ada suara berat berteriak memanggil Shazi. Aku menoleh ke belakang dan mendapati dua orang laki-laki berjalan ke arah kami. Saat itu pula aku terdiam. Salah seorang teman Shazi yang baru datang juga terdiam dan menghentikan langkahnya.
Aku menoleh ke arah Aulia.
Panik.
----------
Hong Kong pada bulan April cuacanya cukup menyenangkan, walaupun kadang masih ada gerimis-gerimis yang kadang turun pada pagi atau sore hari. Selebihnya, raincoat free. Terakhir kali aku ke Hong Kong adalah tahun lalu, bulan April juga, bersama geng SMA-ku yang kini hidupnya sudah berpencar ke seluruh dunia. Anggaplah pertemuan di Hong Kong ini sebagai reuni. Edyta, Diana, Lellie, Rendi dan Pierre. Saat itu rasanya hidupku sempurna.
Kini tepat satu tahun kemudian, kembali di tempat yang sama, hidupku rasanya berubah 180 derajat. No more awesomeness.
Aku memasuki stasiun MTR Central dengan langkah cepat. Mengetatkan syal di sekeliling leher dan merasakan bahwa ada air mata yang mengalir pelan dari kedua sudut mataku. Malam ini stasiun MTR Central penuh banget. Aku berdesakan dengan segerombolan remaja yang heboh mengobrol dan satu keluarga yang tampaknya habis makan malam bersama.
Ponselku berbunyi dan bergetar nggak berhenti-henti sejak aku meninggalkan The Cavern dengan tiba-tiba dan aku sama sekali nggak ada niat untuk mengangkatnya.
This Hong Kong journey is supposed to be a getaway.
Aku melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan di Jakarta. Tapi yang terjadi adalah, kenyataan itu mengejarku sampai di sini.
Aku berdiri gelisah di peron selama beberapa menit. Sesekali menoleh ke belakang hanya untuk memastikan nggak ada yang mengikuti aku sampai sini. Nggak berapa lama, keretanya datang. Sambil melangkahkan kaki masuk, sekali lagi aku menoleh sekilas ke belakang, dan begitu pintu kereta menutup dan kereta mulai berjalan, aku menyenderkan diri ke tiang, menutup mata dan menghembuskan napas lega.
Dari semua kebetulan yang bisa terjadi di dunia ini, kenapa sih aku harus bertemu Yudha di sini? Kota yang sekian ribu kilometer jauhnya dari Jakarta?
Aku benar-benar nggak nyangka kalau teman-temannya Shazi salah satunya adalah Yudha. Mungkin seharusnya aku tahu, mungkin seharusnya aku punya firasat. Maka yang terjadi berikutnya adalah aku dan Yudha sama-sama tertegun.
Saat itu seolah-olah semuanya terjadi dalam gerakan lambat.
Yudha menghampiriku dengan langkah ragu, aku bisa membaca gerakan bibirnya yang menyebutkan namaku. Saat itu pula aku berdiri, secepat kilat mengambil tote bag dan coat milikku yang tersampir di kursi lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar. Aku berjalan dengan begitu cepatnya, menembus jarak antara Yudha dan temannya, dan nggak mengurangi kecepatan sampai di stasiun.
So much for my getaway. Or runaway. Or whatever.
-------
Read more!