MEET CUTE [part 3]
Aku
mengklik tanda send/receive yang ada
di Microsoft Outlook untuk kesekian kalinya hanya untuk menemukan bahwa nggak
ada email yang masuk ke dalam inboxku. Well, ada sih email yang masuk, tapi semuanya mengenai kerjaan
kantor. Sekalinya ada email urusan pribadi, itu hanya Shirin, sahabatku, yang
mengingatkan kalau pulang kantor aku harus nemenin dia ke salon untuk potong
rambut. Ish, aku nggak ngerti, kenapa sih potong rambut aja mesti dianterin.
Maksudku, keberadaanku disana kan nggak ada pengaruhnya sama sekali. Lain
halnya kalau stylistnya yang nggak
ada, baru tuh Shirin boleh panik.
Tapi
ya, you know, demi sahabat, aku
akhirnya membalas email Shirin dengan persetujuan untuk menemaninya ke salon
sehabis pulang kantor.
Nggak
gratis, tentunya.
Hey, there’s no such thing as a free
lunch. Apalagi di dunia kapitalis kayak gini.
Eh
tadi aku lagi ngomongin apa sih? Kok jadi ngelantur ke Shirin. Oh iya, email.
Hari
ini aku sama sekali nggak konsen bekerja. Yah, bukan berarti tiap hari konsen
juga sih, tapi hari ini lebih-lebih, karena aku menanti datangnya email tagihan
laundry dari Ilham.
Baru
kali ini aku menantikan datangnya tagihan dengan excited. Biasanya aku selalu bayar semua tagihan menjelang tanggal jatuh
tempo tanpa ada rasa excited sama
sekali. Tapi khusus tagihan yang ini aku harus bayar lunas di muka juga nggak
apa-apa deh.
Sayangnya,
harapan dan kenyataan itu sering banget nggak sejalan. Ini adalah salah satu
momennya.
Sekali
lagi aku mengklik tombol send/receive
dan nggak ada email baru yang masuk.
Aku
menghela napas sebal.
“Vix?”
aku mendengar Tita, teman sebelah kubikelku, memanggil. “Lo bisa baca nggak,
sih, ini apa ya bacanya?” ia kemudian menyodorkan selembar kertas memo yang
berisi disposisi dari Pak Sastro, bos kami.
Aku
mengambil kertas tersebut dan berusaha membaca tulisan Pak Sastro.
Astaga,
Pak Sastro dulu waktu SD sering bolos waktu pelajaran menulis halus ya? Kurasa isi
tulisannya hanya bisa dipecahkan oleh pemecah kode paling handal yang dimiliki
negara ini.
Aku
mengembalikan kertas tersebut kepada Tita sambil mengangkat bahu tanda
menyerah. Ia tampaknya sudah memprediksi bahwa aku akan mengalami kebuntuan
yang sama seperti dirinya, maka ia hanya mengucapkan terima kasih dan dengan
hopeless celingak-celinguk mencari orang lain untuk dimintai tolong.
Ketika
ia hendak berbalik, aku tiba-tiba teringat sesuatu dan menahannya. “Eh, Ta.
Bentar.”
Tita
berhenti dan mengangkat alisnya, “Kenapa?”
“Errr,
lo kenal anak-anak PetroWorld, nggak?”
Tita
masih mengangkat alisnya. Nggak ngerti.
Ini
kayaknya pertanyaan yang aku ajukan salah deh. Aku memperbaikinya dengan
bertanya, “Err, maksud gue, lo kan punya temen tuh anak PetroWorld—itu tuh yang
suka makan siang sama lo di bawah?” walaupun pernah dikenalin, aku sama sekali
nggak ingat sama temannya Tita itu. “Nah, maksud gue—errr, lo kenal nggak sama
anak PetroWorld yang lain?”
Tanpa
kuduga, Tita tersenyum mengerti seolah tahu maksudku bahkan tanpa aku perlu
lontarkan. Ia menghampiriku dan bertanya menggoda, “Maksud lo, lo mau nanya apa
gue kenal siapakah-entah-orang-yang-lo-maksud yang anak PetroWorld?”
Aku
langsung tersenyum lebar. NAH, Tita emang jenius.
Well, atau aku aja yang
terlalu gampang ditebak.
“Kenal
yang namanya Ilham?” tanyaku tanpa menyia-nyiakan waktu.
Tita
berpikir sejenak. Ia tampak berpikir lalu menggeleng. “Nggak pernah tau. Kayak
gimana orangnya?”
Aku
berusaha mengingat-ingat Ilham seperti apa. Sedetail apa pun sosoknya ada di kepalaku,
yang keluar dari mulutku hanyalah, “Tinggi—errr, ganteng?”
Tita
memutar bola matanya. “Yeh. Deskripsi yang bagus, Vix. Dan oh, gue nggak pernah
kenal ada anak PetroWorld yang ganteng. Lo salah kali.”
“Ah,
masa sih, Ta?” aku meragukannya. Satrio nggak mungkin salah kan ketika dia
bilang bahwa Ilham bekerja di PetroWorld?
Tita
mengangkat bahu. “Nggak tahu sih, cuma nanti gue tanya Zakki deh.”
NAH!
Itu dia nama temennya Tita. Zakki.
“Tanyain
ya, Ta.” Aku tersenyum makin lebar.
“Tanyain
apa?”
Rasanya
aku ingin menggetok kepala Tita deh. “Tanya nama neneknya si Ilham itu siapa. Ya
menurut loooo?”
Tita
tertawa. Untungnya dia udah terbiasa dengan drama hidupku.”Iya, iya. Ntar coba
gue tanya Zakki. Udah itu aja?” tanyanya sebelum meninggalkan kubikelku.
Aku
hanya tersenyum lebar dan mengangguk.
“Eh,
Vix.” Tita kembali berbalik dan memanggilku setelah berjalan beberapa langkah. “Gue
lupa. Jumat besok PetroWorld ngadain charity
day—”
Aku
menyimak dengan tertarik. “Terus?”
“—yah,
mereka tuh charity day-nya dari tahun
ke tahun idenya selalu unik. Nggak kayak charity
day pada umumnya.”
Lah,
charity day kayak gimana sih? Aku
baru tahu kalau PetroWorld dari tahun ke tahun mengadakan charity day. Well, aku
juga kerja disini belum sampai setahun sih. Tapi seharusnya charity day dimana-mana mirip bukan?
“Emang
charity day yang kayak gimana?”
tanyaku penasaran.
Tita
kini tersenyum lebar, nggak seperti biasanya. “Macam-macam sih, biasanya seru.
Tapi tahun ini yang bikin menarik, kata Zakki, mereka ngadain semacam speed dating. Pegawai PetroWorld yang single dikumpulin, terus pengunjung bisa
milih siapa aja buat ngedate selama
lima belas menit, tapi tentunya abis itu lo nyumbang ya. Decent amount.”
Aku
melotot.
Ya
Tuhan. CHARITY DAY MACAM APA ITU?
Menjual
pegawainya sendiri dengan berkedok amal. Ckckckck... uh, well, nggak gitu-gitu
amat kali ya?
“Jadi,”
Tita semakin tersenyum melihat wajahku yang sangat terkejut. “Kalau lo mau
nyari si Ilham-Ilham ini, lo dateng aja Jumat besok ke charity day-nya. Kalau dia nggak available sebagai single
yang ikut speed dating, lo tau bahwa dia—yah,
udah gak available.”
Sementara
otakku masih berusaha memroses informasi ini, mulutku sudah keburu bertanya
kepada Tita. “Charity day-nya dimana?”
“Ballroom lantai tiga.” Ia kemudian
mengedipkan matanya. “Lo mau ikut? Gue PASTINYA mau ikut.”
Melewatkan
kesempatan bertemu dengan Ilham lagi? No
way. Kalaupun ternyata dia nggak available,
at least kan aku nggak penasaran.
Maka, dengan senyuman sumringah di wajah, aku menjawab pertanyaan Tita. “Count me in! Jam berapa?”
Ya
Tuhan. Aku murahan banget sih.
Tita
mengangkat bahu, “Gue tanya Zakki dulu. Ntar gue kabarin. Sementara, jangan
taruh ekspektasi lo terlalu tinggi. Gue nggak mau menghabiskan Jumat sore sambil
dengerin lo misuh-misuh karena menemukan gebetan lo nggak available.”
Aku
meresponnya dengan melemparkan post it
berukuran kecil. Sial, aku nggak se-desperate
itu kali.
jadi mau ikutan Charity Day-nya nih mba! hahaha :D
ReplyDelete*lanjutkan cerpennya, penasaran*
wah,, ada tita... nyehehheeee ^^
ReplyDeleteBtw di FTTS ada tita juga kan ya? itu, waitress yang gedek banget pas Edyta ngambil kursi yang udah dipesan ma Adrian, haha
Btw, boleh kali ya kalo seandainya si tita ini yang ternyata jadian ma Ilham?? LOL LMAO
--> kabur dulu sebelum digebukin masa
Kak ninaaaaa. Lajut kak!!! I'm freaking curious!!! :----D
ReplyDeleteHehehe.. sabar ya. Lagi ada kerjaan lain :D
Delete