Sebenarnya Ilham ini adalah tokoh utama di buku saya yang pertama, Simple Lie. Udah, nggak usah dicari, wong pasti udah bakalan nggak ada juga. Udah diskontinyu deh kayaknya, hehehe... Jadi untuk yang meminta supaya Ilham dibikinin buku, uhm--kayaknya agak susah diwujudkan dalam waktu dekat ^^
Tapiiii, sebagai gantinya, saya akan membuat cerita pendek tentang Ilham deh. Cerita pendeknya akan saya posting secara bersambung beberapa kali (bukan apa-apa, idenya masih dalam pengembangan, jadinya gak bisa diposting semua, hehehe...). Kalau ada masukan, silakan ya.
Happy reading. Semoga menghibur.
MEET CUTE [part 1]
Mungkin karena
kebanyakan baca novel romance, aku agak terobsesi dengan meet cute. Tahu nggak apa itu meet cute? Meet cute itu ketika Hero
dan Heroine-nya bertemu untuk pertama kali dan, you know, kejadiannya very
cute, adorable, unik, lucu. Yeah,
like… very cute.
Well, aku bukan orang
yang bisa menjelaskan sesuatu dengan baik. Tanya aja sama bosku kalau aku lagi
presentasi. Aku suka melantur kemana-mana kalau lagi menjelaskan sesuatu.
Eh, tadi aku lagi
ngomong apa sih?
Oh ya, meet cute.
Jadi ya, selama ini
aku selalu memimpikan suatu hari akan bertemu dengan cowok yang akan jadi
pasanganku dengan meet cute. Kayak
Kate Beckinsale dan John Cusack di Serendipity gitu atau Cameron Diaz dan Jude
Law di The Holiday atau Emily Blunt dan Matt Damon di The Adjustment Bureau. Ya
semacam itu lah. Tapi ya, kalau suatu hari terjadi meet cute seperti versi
Serendipity, aku nggak akan lah melakukan hal bodoh yang membuat terpisah
selama sekian tahun. Nyusah-nyusahin diri aja.
Tapi selama ini nggak
pernah tuh sama sekali aku mengalami meet
cute dengan cowok-cowok yang menjadi pacarku. Lima kali pacaran, lima kali
aku bertemu dalam kondisi biasa-biasa aja atau bahkan sebenernya aku udah kenal
lama sama orangnya. Well, tiga dari
lima mantan pacarku dikenalin di acara resepsi pernikahan sih. Sisanya teman
sekolah. Nothing cute about it.
Barusan aku selsai
membaca novel young adult berjudul
The Boyfriend Game karya Elizabeth Chandler. Yeah, walaupun usiaku jauh dari
bisa dikategorikan sebagai young adult,
tapi selama masih ada kata-kata adult
di dalam young adult, aku nggak akan
ambil peduli. Lagi pula cerita-cerita anak SMA itu beneran cute dan heartwarming—mungkin
karena mereka belum mengenal ujian hidup sesungguhnya kali ya.
Balik ke novel
tersebut, hero dan heroine-nya bertemu pertama kali dengan adegan yang cute.
Awww, anak-anak SMA ini menggemaskan banget, deh. Seandainya aja masa
SMA-ku ada cowok macam Graham (itu nama tokoh utamanya yang, well—cute), sayangnya SMP dan SMAku dihabiskan
di sekolah khusus perempuan. Aku berjanji, kalau nanti punya anak, aku akan
memasukkan mereka ke sekolah heterogen, biar bisa merasakan yang namanya
naksir-naksiran sama lawan jenis.
Eh, tapi mungkin
sekarang saatnya kembali ke realita—gedung kantorku sudah di depan mata. Aku
memasukkan The Boyfriend Game ke dalam tas dan mengarahkan supir taksi untuk
berhenti tepat di lobby utama.
Setelah memberikan dua
lembar uang puluhan ribu kepada supir taksi, aku berjalan memasuki gedung
kantor. Aku tersenyum kepada satpam kantor ketika ia dengan ramah menyapa,
“Selamat pagi, bu.” Sambil mengambil tote
bag extra large milikku untuk diperiksa melalui benda seperti kotak rontgen
yang ada di lobby utama. Aku kasih tahu ya, walaupun aku suka banget sama
gedung kantorku yang sleek, sophisticated dan modern ini, tapi hal yang paling
menyebalkan dari semuanya adalah bagian diperiksa kotak rontgen itu. Soalnya
bisa membuat antrian panjang orang yang akan masuk. Dan itu sangat menyebalkan.
Tapi overall, PetroWorld Tower ini luar biasa
keren. Lobbynya aja kayak hotel bintang lima, wifi di seluruh gedung sangat
cepat (aku sering lho download film
dan serial—tapi jangan bilang-bilang bosku ya), dan banyak bule-bule
bersliweran karena ada beberapa perusahaan multinasional yang menyewa tempat
disini—termasuk lima belas lantai yang dikuasai oleh PetroWorld, perusahaan
minyak asal Kanada, yang menjadikan Jakarta sebagai kantor representatif untuk
kawasan Asia Pasifik. Sementara kantorku sendiri mengambil empat lantai di
gedung ini di lantai 21-24, itu pun kayaknya terlalu luas deh. Masih banyak
spot kosong yang belum terpakai.
Aku berjalan menuju Starbucks
yang terletak di pojok kanan lobby utama. Biasanya sepagi ini masih sepi. Para
barista-nya masih merapikan kursi atau membersihkan lantai dan nggak
berkeberatan kalau aku menghabiskan pagi dengan duduk-duduk sambil membaca buku
padahal mereka belum siap.
Pintu Starbucks
terbuka lebar. Samar-samar aku bisa mendengar suara mesin berdengung ketika
berjalan memasuki kedai kopi tersebut. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling
dan nggak menemukan satu pun barista di sana. Mereka pada kemana, sih?
Aku berdiri di depan
kasir dan mendongak untuk membaca papan yang penuh bertuliskan segala macam
jenis minuman. Hari ini aku mau yang beda dengan biasanya ah. Biasanya aku selalu
pesan hazelnut latte panas, tapi hari ini mungkin aku pesan caramel latte aja.
Aku melihat jam tangan, masih ada 45 menit sebelum masuk.
Dari dalam tiba-tiba
muncul Satrio, barista favoritku, yang berjalan memamerkan senyuman lebar lalu
menyapaku. “Morning Vix. Kayak biasa?” ia memencet-mencet mesin cash register di hadapannya.
Aku balas tersenyum,
tapi lalu menggeleng. “Caramel latte
kali ini, Yo. Grande aja.”
Satrio hanya
berkomentar, “Tumben.” Tapi lalu segera membuat pesanan yang aku minta.
Aku bergeser ke
counter tempat mengambil pesanan sambil nggak melepaskan pandangan dari
timeline Twitterku yang tampaknya pagi ini penuh dengan orang menyumpah-ntumpah
karena jalan Antasari macet panjang luar biasa akibat ada truk gandeng
terguling. Emang sejak kapan sih ada truk gandeng lewat Antasari?
Samar-samar aku
mendengar suara Sisy, barista yang lain, menyapa pelanggan yang baru datang. Beberapa
saat kemudian Satrio menyodorkan paper cup berukuran sedang di hadapanku. Aku tersenyum
lalu mengantongi iPhone dan membuka tutup paper cup untuk menghirup aromanya.
“Thanks ya, Yo.” Lalu berbalik dan—
—membentur seseorang
dan menumpahkan setengah gelas caramel latte hangatku ke dada seorang cowok.
---------
Cowok tersebut reflek
melompat ke belakang sambil terlihat kepanasan.
Aku melongo sesaat
sebelum akhirnya dengan panik berkata, “YA TUHAN. MAAF-MAAF!” sambil meletakkan kembali paper cup tersebut
di atas counter. Terburu-buru aku
mengeluarkan tissue basah dari dalam tas sambil mulutku nggak berhenti-berhenti
mengucapkan maaf. Dengan gugup aku mengambil beberapa helai tissue basah dari bungkusnya dan
berusaha untuk membersihkan jas abu-abunya yang kini penuh dengan noda gelap.
“Hey, it’s okay. Nggak apa-apa.” Suara
berat cowok itu seketika membuatku tersadar dan tanganku langsung berhenti dari
usaha membersihkan yang sia-sia.
Saat itu aku baru
mendongak dan melihat wajah cowok yang nggak sengaja ketumpahan kopi tersebut.
Efeknya sangat luar biasa.
Aku menganga nggak
percaya. Kalau Tuhan menciptakan manusia berdasarkan mood, maka mood Tuhan
pasti lagi bagus banget ketika menciptakan makhluk di hadapanku.
Wajahnya terlihat
dingin namun nggak mengurangi—well,
aku bisa bilang apa ya? Cowok ini kelihatan sangat gorgeous. Mungkin bukan orang paling tampan sedunia, tapi dia
terlihat sangat charming dan auranya
bisa membuat orang menoleh dua kali.
Sayang auranya nggak
bisa membuatku menoleh supaya nggak menumpahkan setengah gelas caramel latte
hangat ke jas abu-abunya.
“It’s okay.” Dia tersenyum sambil
mengambil tissue dari tanganku dan berusaha membersihkan sisa kopi yang masih
mengalir. Sementara aku hanya bisa terdiam di tempat, melihatnya melepas jas
dan kini hanya mengenakan kemeja putih di dalamnya.
Ia memandangku sambil
tersenyum. Aku nggak ngerti gimana caranya dia masih bisa tersenyum dengan
kejadian barusan. Karena kalau aku jadi dia, aku pasti akan ngomel-ngomel
sampai orang yang menumpahkan kopi di pakaian kerjaku dan aku nggak akan
berhenti sampai orang tersebut kena karma.
Yeah, I’m that mean.
“See?” ia mengangkat tangan kanannya yang kini memegang jas abu-abu.
Ia tersenyum. Tapi aku tahu bahwa senyumannya nggak mencapai mata.
Ya Tuhan, aku merasa
buruk banget.
“Maafin saya ya, Mas.”
Aku berkata sungguh-sungguh dan memasang ekspresi anjing kecil tersesat.
Biasanya suka berhasil kalau aku sedang membujuk siapa pun. Kecuali ibu bos.
Lagi-lagi ia hanya
tersenyum tipis. “Shit happens.” Katanya
sambil mengengkat bahu.
Well, I think I’m that shit he’s referring to. Bahkan tanpa melihat ke cermin, aku tahu bahwa wajahku
memerah.
Tiba-tiba aku tersadar
akan sesuatu. “Eh tunggu—” Buru-buru aku merogoh ke dalam tote bag dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Errgghh, mana sih
kotak kartu nama ketika kita butuhkan? Dompet, tempat kaca mata, buku, iPad,
mukena, dompet koin—MANA SIH BENDA SIALAN ITU??
AH! Akhirnya ketemu
juga. Aku mengeluarkan selembar kartu namaku dan memberikan ke si
cowok-yang-senyumannya-nggak-sampai-mata sambil terburu-buru mengucapkan semua
hal yang ada di kepalaku sebagai permohonan maaf. “Ini kartu nama saya. At
least saya berhutang biaya laundry.” Aku berusaha menenangkan suaraku yang terdengar
gugup. Gugup karena merasa bersalah dan gugup karena nggak tiap hari aku ketemu
cowok gorgeous kayak gini. “Nanti kalau udah selesai laundry, hubungi saya aja. Nanti saya ganti biayanya.”
Cowok tersebut
menerima kartu namaku dan tampak membacanya dengan teliti. Ia kemudian
tersenyum tipis, mengangkat wajahnya dan kini memandangku sambil bertanya. “Oh.
Flash Box?” ia mengangkat alis sambil meneybutkan nama perusahaan tempatku
bekerja..
Aku mengangguk.
“Sekali lagi maaf ya.”
Ia nggak menjawab dan
justru kembali memerhatikan kartu namaku dengan seksama. “Nama yang bagus.
Nareswari Nasution. Saya harus manggil kamu apa?” ia kembali menatapku, tanpa
senyum.
Aku tersenyum gugup. “Vix.
Bisa panggil saya Vix. V-I-X.” dan kalau aku gugup, selain memiliki
kecenderungan untuk melantur kemana-mana, aku juga bertendensi untuk memberikan
informasi yang nggak penting. Kayak ini barusan. Ngapain juga aku kasih tau
ejaan namaku itu gimana?
“V-I-X?” alisnya
terangkat makin tinggi.
“Kependekan dari
Victoria. Ada ‘Victoria’ di antara Nareswari dan Nasution. Lihat huruf V
disitu? Nareswari V. Nasution? Nah itu asalnya.”
Kini aku bisa melihat
kini ia tersenyum lebar. “Ok Vix, will
let you know kalau tagihan laundrynya
datang.” Ia maju beberapa langkah melewatiku untuk mengambil pesanan kopinya
yang sudah tersedia di atas counter.
“Ilham!!” tiba-tiba
aku mendengar suara memanggil dari pintu masuk yang berbatasan dengan lobby.
Tampak seorang cowok mengenakan jas biru gelap dan celana panjang warna senada,
wajahnya tampak kesal. “Cepetan. Udah ditungguin, nih.”
Tampaknya cowok ini
bernama Ilham, karena ia langsung mengangkat tangannya dan balas menjawab.
“Bentar.” Lalu ia kembali berbalik menatapku dan berkata, “Sampai ketemu, ya.”
Lalu berjalan menuju pintu keluar sambil membawa paper cup di tangan kiri dan
jas abu-abu yang sudah ternoda kopi di tangan kanan.
Bahkan dari belakang
aja cowok ini terlihat yummy.
“Jangan lupa
tagihannya, ya!” aku berteriak ketika cowok tersebut sudah berada di ambang
pintu. Ia menoleh sedetik sambil mengangguk dan tersenyum lalu menghilang
menuju pintu keluar lobby.
Aku masih terpaku di
tempat sampai cowok tersebut benar-benar hilang dari pandangan.
Waaaww. That WAS the MEET CUTE. Aku berpikir
sambil tersenyum sendiri—namun tiba-tiba dihantam kesadaran.
DIA NGGAK MEMBERITAHU
NAMANYA!! MEET CUTE MACAM APA INI???
Oh well, at least aku masih ada harapan
dia benar-benar membebankan tagihan laundrynya
kepadaku. Tapi sampai saat itu tiba, mari berharap aku bisa bertemu dengannya
lagi dalam jangka waktu dekat ini.
[bersambung]
Kereennn <3 knp gak jadiin novel aja kak? :)
ReplyDeleteoh my god, oh my god, oh my god. it's out, it's out!!!
ReplyDeletenoh kak, udah ada yg komen kenapa gak dijadiin novel aja. oh tuhan, kenapa di kotaku gak ada Starbucks atau semacamnya. kalo "meet cute" sama ilham fauzi begini, huaaa >o<
oh iya, ini fiksi yah kak :)
untuk part 1 berhasil buat mengap-mengap kak, -_-"
Hehehe... belom ada ide untuk dibuat novel. Nanti jatuhnya malah ngebosenin lagi :D
Delete:)
Deleteyaudah begini aja dulu ,kak. semangat kaka, ini penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
mungkin aja si ilham ternyata udh dijodohin jauh2 hari sm vix nasution, cuma ilhamnya aja yang gak sadar orangnya yg mana :p
Semangat kak!!! *kibar bendera*
aawww!!!! Ilham... *histeris*
ReplyDeleteukh,,, telat banget nih baca nya. Kalau ngak di kasi tau si Ardhzakia di atas itu, ngak tau kalu ada Meer Cute ini..
Hiioo iya kak nina, semangat yah ngalanjutin meet cute nyaa.. ditungguin Ilham nya hohooo
masih ngebayangin sosok Ilham yg "keluar sambil membawa paper cup di tangan kiri dan jas abu-abu yang sudah ternoda kopi di tangan kanan." hiiiii ^_____^
abis baca Fly to The Sky, terus baca ini jadi buka2 lagi Simple Lie lagi. lupa soalnya. pas baca Fly to The Sky gak nyangka kalau Ilham dan Edyta pernah dibahas bertahun-tahun yang lalu :)
ReplyDelete