Friday, August 10, 2012

[short story]: Meet Cute

Beberapa waktu yang lalu ada beberapa orang yang sudah membaca Fly to the Sky bilang kepada saya kalau suka banget sama tokoh Ilham, kakaknya Edyta. Well, saya juga suka sih. Tapi ternyata kemudian terjadi pemaksaan untuk membuat buku tentang Ilham dan bahkan meminta 'Ilham' untuk membuat account Twitter.

Sebenarnya Ilham ini adalah tokoh utama di buku saya yang pertama, Simple Lie. Udah, nggak usah dicari, wong pasti udah bakalan nggak ada juga. Udah diskontinyu deh kayaknya, hehehe... Jadi untuk yang meminta supaya Ilham dibikinin buku, uhm--kayaknya agak susah diwujudkan dalam waktu dekat ^^

Tapiiii, sebagai gantinya, saya akan membuat cerita pendek tentang Ilham deh. Cerita pendeknya akan saya posting secara bersambung beberapa kali (bukan apa-apa, idenya masih dalam pengembangan, jadinya gak bisa diposting semua, hehehe...). Kalau ada masukan, silakan ya.

Happy reading. Semoga menghibur.



MEET CUTE [part 1]

Mungkin karena kebanyakan baca novel romance, aku agak terobsesi dengan meet cute. Tahu nggak apa itu meet cute? Meet cute itu ketika Hero dan Heroine-nya bertemu untuk pertama kali dan, you know, kejadiannya very cute, adorable, unik, lucu. Yeah, like… very cute.
Well, aku bukan orang yang bisa menjelaskan sesuatu dengan baik. Tanya aja sama bosku kalau aku lagi presentasi. Aku suka melantur kemana-mana kalau lagi menjelaskan sesuatu.
Eh, tadi aku lagi ngomong apa sih?
Oh ya, meet cute.
Jadi ya, selama ini aku selalu memimpikan suatu hari akan bertemu dengan cowok yang akan jadi pasanganku dengan meet cute. Kayak Kate Beckinsale dan John Cusack di Serendipity gitu atau Cameron Diaz dan Jude Law di The Holiday atau Emily Blunt dan Matt Damon di The Adjustment Bureau. Ya semacam itu lah. Tapi ya, kalau suatu hari terjadi meet cute seperti versi Serendipity, aku nggak akan lah melakukan hal bodoh yang membuat terpisah selama sekian tahun. Nyusah-nyusahin diri aja.
Tapi selama ini nggak pernah tuh sama sekali aku mengalami meet cute dengan cowok-cowok yang menjadi pacarku. Lima kali pacaran, lima kali aku bertemu dalam kondisi biasa-biasa aja atau bahkan sebenernya aku udah kenal lama sama orangnya. Well, tiga dari lima mantan pacarku dikenalin di acara resepsi pernikahan sih. Sisanya teman sekolah. Nothing cute about it.
Barusan aku selsai membaca novel young adult berjudul The Boyfriend Game karya Elizabeth Chandler. Yeah, walaupun usiaku jauh dari bisa dikategorikan sebagai young adult, tapi selama masih ada kata-kata adult di dalam young adult, aku nggak akan ambil peduli. Lagi pula cerita-cerita anak SMA itu beneran cute dan heartwarming—mungkin karena mereka belum mengenal ujian hidup sesungguhnya kali ya.
Balik ke novel tersebut, hero dan heroine-nya bertemu pertama kali dengan adegan yang cute. Awww, anak-anak SMA ini menggemaskan banget, deh. Seandainya aja masa SMA-ku ada cowok macam Graham (itu nama tokoh utamanya yang, well—cute), sayangnya SMP dan SMAku dihabiskan di sekolah khusus perempuan. Aku berjanji, kalau nanti punya anak, aku akan memasukkan mereka ke sekolah heterogen, biar bisa merasakan yang namanya naksir-naksiran sama lawan jenis.
Eh, tapi mungkin sekarang saatnya kembali ke realita—gedung kantorku sudah di depan mata. Aku memasukkan The Boyfriend Game ke dalam tas dan mengarahkan supir taksi untuk berhenti tepat di lobby utama.
Setelah memberikan dua lembar uang puluhan ribu kepada supir taksi, aku berjalan memasuki gedung kantor. Aku tersenyum kepada satpam kantor ketika ia dengan ramah menyapa, “Selamat pagi, bu.” Sambil mengambil tote bag extra large milikku untuk diperiksa melalui benda seperti kotak rontgen yang ada di lobby utama. Aku kasih tahu ya, walaupun aku suka banget sama gedung kantorku yang sleek, sophisticated dan modern ini, tapi hal yang paling menyebalkan dari semuanya adalah bagian diperiksa kotak rontgen itu. Soalnya bisa membuat antrian panjang orang yang akan masuk. Dan itu sangat menyebalkan.
Tapi overall, PetroWorld Tower ini luar biasa keren. Lobbynya aja kayak hotel bintang lima, wifi di seluruh gedung sangat cepat (aku sering lho download film dan serial—tapi jangan bilang-bilang bosku ya), dan banyak bule-bule bersliweran karena ada beberapa perusahaan multinasional yang menyewa tempat disini—termasuk lima belas lantai yang dikuasai oleh PetroWorld, perusahaan minyak asal Kanada, yang menjadikan Jakarta sebagai kantor representatif untuk kawasan Asia Pasifik. Sementara kantorku sendiri mengambil empat lantai di gedung ini di lantai 21-24, itu pun kayaknya terlalu luas deh. Masih banyak spot kosong yang belum terpakai.
Aku berjalan menuju Starbucks yang terletak di pojok kanan lobby utama. Biasanya sepagi ini masih sepi. Para barista-nya masih merapikan kursi atau membersihkan lantai dan nggak berkeberatan kalau aku menghabiskan pagi dengan duduk-duduk sambil membaca buku padahal mereka belum siap.
Pintu Starbucks terbuka lebar. Samar-samar aku bisa mendengar suara mesin berdengung ketika berjalan memasuki kedai kopi tersebut. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan nggak menemukan satu pun barista di sana. Mereka pada kemana, sih?
Aku berdiri di depan kasir dan mendongak untuk membaca papan yang penuh bertuliskan segala macam jenis minuman. Hari ini aku mau yang beda dengan biasanya ah. Biasanya aku selalu pesan hazelnut latte panas, tapi hari ini mungkin aku pesan caramel latte aja. Aku melihat jam tangan, masih ada 45 menit sebelum masuk.
Dari dalam tiba-tiba muncul Satrio, barista favoritku, yang berjalan memamerkan senyuman lebar lalu menyapaku. “Morning Vix. Kayak biasa?” ia memencet-mencet mesin cash register di hadapannya.
Aku balas tersenyum, tapi lalu menggeleng. “Caramel latte kali ini, Yo. Grande aja.”
Satrio hanya berkomentar, “Tumben.” Tapi lalu segera membuat pesanan yang aku minta.
Aku bergeser ke counter tempat mengambil pesanan sambil nggak melepaskan pandangan dari timeline Twitterku yang tampaknya pagi ini penuh dengan orang menyumpah-ntumpah karena jalan Antasari macet panjang luar biasa akibat ada truk gandeng terguling. Emang sejak kapan sih ada truk gandeng lewat Antasari?
Samar-samar aku mendengar suara Sisy, barista yang lain, menyapa pelanggan yang baru datang. Beberapa saat kemudian Satrio menyodorkan paper cup berukuran sedang di hadapanku. Aku tersenyum lalu mengantongi iPhone dan membuka tutup paper cup untuk menghirup aromanya. “Thanks ya, Yo.” Lalu berbalik dan—
—membentur seseorang dan menumpahkan setengah gelas caramel latte hangatku ke dada seorang cowok.

---------


Cowok tersebut reflek melompat ke belakang sambil terlihat kepanasan.
Aku melongo sesaat sebelum akhirnya dengan panik berkata, “YA TUHAN. MAAF-MAAF!”  sambil meletakkan kembali paper cup tersebut di atas counter. Terburu-buru aku mengeluarkan tissue basah dari dalam tas sambil mulutku nggak berhenti-berhenti mengucapkan maaf. Dengan gugup aku mengambil beberapa  helai tissue basah dari bungkusnya dan berusaha untuk membersihkan jas abu-abunya yang kini penuh dengan noda gelap.
“Hey, it’s okay. Nggak apa-apa.” Suara berat cowok itu seketika membuatku tersadar dan tanganku langsung berhenti dari usaha membersihkan yang sia-sia.
Saat itu aku baru mendongak dan melihat wajah cowok yang nggak sengaja ketumpahan kopi tersebut. Efeknya sangat luar biasa.
Aku menganga nggak percaya. Kalau Tuhan menciptakan manusia berdasarkan mood, maka mood Tuhan pasti lagi bagus banget ketika menciptakan makhluk di hadapanku.
Wajahnya terlihat dingin namun nggak mengurangi—well, aku bisa bilang apa ya? Cowok ini kelihatan sangat gorgeous. Mungkin bukan orang paling tampan sedunia, tapi dia terlihat sangat charming dan auranya bisa membuat orang menoleh dua kali.
Sayang auranya nggak bisa membuatku menoleh supaya nggak menumpahkan setengah gelas caramel latte hangat ke jas abu-abunya.
“It’s okay.” Dia tersenyum sambil mengambil tissue dari tanganku dan berusaha membersihkan sisa kopi yang masih mengalir. Sementara aku hanya bisa terdiam di tempat, melihatnya melepas jas dan kini hanya mengenakan kemeja putih di dalamnya.
Ia memandangku sambil tersenyum. Aku nggak ngerti gimana caranya dia masih bisa tersenyum dengan kejadian barusan. Karena kalau aku jadi dia, aku pasti akan ngomel-ngomel sampai orang yang menumpahkan kopi di pakaian kerjaku dan aku nggak akan berhenti sampai orang tersebut kena karma.
Yeah, I’m that mean.
See?” ia mengangkat tangan kanannya yang kini memegang jas abu-abu. Ia tersenyum. Tapi aku tahu bahwa senyumannya nggak mencapai mata.
Ya Tuhan, aku merasa buruk banget.
“Maafin saya ya, Mas.” Aku berkata sungguh-sungguh dan memasang ekspresi anjing kecil tersesat. Biasanya suka berhasil kalau aku sedang membujuk siapa pun. Kecuali ibu bos.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum tipis. “Shit happens.” Katanya sambil mengengkat bahu.
Well, I think I’m that shit he’s referring to. Bahkan tanpa melihat ke cermin, aku tahu bahwa wajahku memerah.
Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. “Eh tunggu—” Buru-buru aku merogoh ke dalam tote bag dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Errgghh, mana sih kotak kartu nama ketika kita butuhkan? Dompet, tempat kaca mata, buku, iPad, mukena, dompet koin—MANA SIH BENDA SIALAN ITU??
AH! Akhirnya ketemu juga. Aku mengeluarkan selembar kartu namaku dan memberikan ke si cowok-yang-senyumannya-nggak-sampai-mata sambil terburu-buru mengucapkan semua hal yang ada di kepalaku sebagai permohonan maaf. “Ini kartu nama saya. At least saya berhutang biaya laundry.” Aku berusaha menenangkan suaraku yang terdengar gugup. Gugup karena merasa bersalah dan gugup karena nggak tiap hari aku ketemu cowok gorgeous kayak gini. “Nanti kalau udah selesai laundry, hubungi saya aja. Nanti saya ganti biayanya.”
Cowok tersebut menerima kartu namaku dan tampak membacanya dengan teliti. Ia kemudian tersenyum tipis, mengangkat wajahnya dan kini memandangku sambil bertanya. “Oh. Flash Box?” ia mengangkat alis sambil meneybutkan nama perusahaan tempatku bekerja..
Aku mengangguk. “Sekali lagi maaf ya.”
Ia nggak menjawab dan justru kembali memerhatikan kartu namaku dengan seksama. “Nama yang bagus. Nareswari Nasution. Saya harus manggil kamu apa?” ia kembali menatapku, tanpa senyum.
Aku tersenyum gugup. “Vix. Bisa panggil saya Vix. V-I-X.” dan kalau aku gugup, selain memiliki kecenderungan untuk melantur kemana-mana, aku juga bertendensi untuk memberikan informasi yang nggak penting. Kayak ini barusan. Ngapain juga aku kasih tau ejaan namaku itu gimana?
“V-I-X?” alisnya terangkat makin tinggi.
“Kependekan dari Victoria. Ada ‘Victoria’ di antara Nareswari dan Nasution. Lihat huruf V disitu? Nareswari V. Nasution? Nah itu asalnya.”
Kini aku bisa melihat kini ia tersenyum lebar. “Ok Vix, will let you know kalau tagihan laundrynya datang.” Ia maju beberapa langkah melewatiku untuk mengambil pesanan kopinya yang sudah tersedia di atas counter.
“Ilham!!” tiba-tiba aku mendengar suara memanggil dari pintu masuk yang berbatasan dengan lobby. Tampak seorang cowok mengenakan jas biru gelap dan celana panjang warna senada, wajahnya tampak kesal. “Cepetan. Udah ditungguin, nih.”
Tampaknya cowok ini bernama Ilham, karena ia langsung mengangkat tangannya dan balas menjawab. “Bentar.” Lalu ia kembali berbalik menatapku dan berkata, “Sampai ketemu, ya.” Lalu berjalan menuju pintu keluar sambil membawa paper cup di tangan kiri dan jas abu-abu yang sudah ternoda kopi di tangan kanan.
Bahkan dari belakang aja cowok ini terlihat yummy.
“Jangan lupa tagihannya, ya!” aku berteriak ketika cowok tersebut sudah berada di ambang pintu. Ia menoleh sedetik sambil mengangguk dan tersenyum lalu menghilang menuju pintu keluar lobby.
Aku masih terpaku di tempat sampai cowok tersebut benar-benar hilang dari pandangan.
Waaaww. That WAS the MEET CUTE. Aku berpikir sambil tersenyum sendiri—namun tiba-tiba dihantam kesadaran.
DIA NGGAK MEMBERITAHU NAMANYA!! MEET CUTE MACAM APA INI???
Oh well, at least aku masih ada harapan dia benar-benar membebankan tagihan laundrynya kepadaku. Tapi sampai saat itu tiba, mari berharap aku bisa bertemu dengannya lagi dalam jangka waktu dekat ini.

[bersambung]






6 comments:

  1. Kereennn <3 knp gak jadiin novel aja kak? :)

    ReplyDelete
  2. oh my god, oh my god, oh my god. it's out, it's out!!!
    noh kak, udah ada yg komen kenapa gak dijadiin novel aja. oh tuhan, kenapa di kotaku gak ada Starbucks atau semacamnya. kalo "meet cute" sama ilham fauzi begini, huaaa >o<

    oh iya, ini fiksi yah kak :)
    untuk part 1 berhasil buat mengap-mengap kak, -_-"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe... belom ada ide untuk dibuat novel. Nanti jatuhnya malah ngebosenin lagi :D

      Delete
    2. :)
      yaudah begini aja dulu ,kak. semangat kaka, ini penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.

      mungkin aja si ilham ternyata udh dijodohin jauh2 hari sm vix nasution, cuma ilhamnya aja yang gak sadar orangnya yg mana :p

      Semangat kak!!! *kibar bendera*

      Delete
  3. aawww!!!! Ilham... *histeris*
    ukh,,, telat banget nih baca nya. Kalau ngak di kasi tau si Ardhzakia di atas itu, ngak tau kalu ada Meer Cute ini..
    Hiioo iya kak nina, semangat yah ngalanjutin meet cute nyaa.. ditungguin Ilham nya hohooo
    masih ngebayangin sosok Ilham yg "keluar sambil membawa paper cup di tangan kiri dan jas abu-abu yang sudah ternoda kopi di tangan kanan." hiiiii ^_____^

    ReplyDelete
  4. abis baca Fly to The Sky, terus baca ini jadi buka2 lagi Simple Lie lagi. lupa soalnya. pas baca Fly to The Sky gak nyangka kalau Ilham dan Edyta pernah dibahas bertahun-tahun yang lalu :)

    ReplyDelete