Eh, makasih lho, walaupun belum jelas mau kemana tapi tetap ngebaca ;)) so, here's the second part.
Happy reading. Semoga suka.
MEET CUTE [part 2]
Aku nggak ingat kapan terakhir kalinya bersikap bodoh
kayak barusan. Nggak bisa bergerak dari tempatku berdiri sampai si cowok yang
seperti Greek God itu benar-benar menghilang dari pandangan. WELL, OKAAAYYY...
aku emang sering banget bertindak bodoh, tapi nggak pernah ada yang sebodoh
tadi. Nggak meneteskan air liur aja udah untung. Eh, bener kan, aku nggak
sampai drooling? Tiba-tiba aku merasa
panik.
“Lo yang numpahin ini ya, Vix?” tiba-tiba Satrio sudah
berada di depanku dengan wajah menyelidik.
Aku, mungkin masih dengan tatapan dreamy, menoleh ke arah Satrio. “Hmmm? Kenapa, Yo?”
Tatapan Satrio semakin tajam, “Yang bener aja, Vix?”
Aku memandangnya dengan nggak ngerti. “Yang bener aja
apa, Yo?”
Ia mencibir lalu meninggalkanku masuk ke dalam pantry. Nggak lama kemudian ia muncul
lagi sambil membawa kain pel dan tanpa banyak berkata-kata langsung
membersihkan tumpahan kopiku yang berceceran di lantai.
Aku jadi merasa bersalah. “Maaf ya, Yo.” Tapi selain
itu nggak melakukan apa-apa selain berdiri dengan canggung. Ya abisan aku bisa
berbuat apa lagi? Nggak mungkin juga kan ngebantuin ngepel?
Aku bisa mendengar ia mendengus sebal. “Iya, nggak
apa-apa. Lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh kayak gini.” Setelah
lantai bersih, ia kembali masuk untuk meletakkan kain pelnya.
“HAH? Maksudnya?” aku bertanya balik karena nggak
mengerti maksud dari pernyataan Satrio barusan. Ketika dia muncul kembali, aku
mengulang pertanyaanku. Kali ini dengan nada yang agak pushy. “Maksudnya bukan orang pertama yang numpahin kopi ke lantai
dengan nggak sengaja?”
Satrio mengangkat bahu dan menjawab tanpa ekspresi. “Bukan.”
Katanya. “Maksud gue, lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh di
depan cowok tadi.”
Tiba-tiba aku langsung merasa adrenalinku meningkat
dan otakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang ingin aku lontarkan semuanya
sekaligus ke Satrio, seperti siapa nama lengkapnya, kerja dimana, udah nikah
belom, kalau belom punya pacar nggak, kalau nggak punya, tipe ceweknya yang
kayak gimana. Tapi sayangnya mulutku nggak bisa berbicara secepat otakku
berpikir. Maka yang pertama kutanyakan adalah, “LO TAU SIAPA DIA BARUSAN, YO??”
Errr, tapi kok pertanyaanku barusan nadanya terdengar
seperti orang yang ngajak berantem ya? Well,
harusnya sih Satrio ngerti kalau itu adalah nada excited.
Satrio memandangku seolah-olah aku ini gila atau apa. “Ya
iyalah tau. Dia hampir tiap hari beli kopi.’
“Siapa Yo, SIAPAAAA..??”
“Nah. Lo bersikap kayak cewek-cewek lain, deh.”
“HAH? MAKSUDNYA?? Maksud lo udah banyak cewek lain
yang histeris kayak gue?”
“Yah menurut looo?” lagi-lagi Satrio mencibir. “Kalau
lo orang pertama yang kayak gini, reaksi gue nggak akan sebosan barusan kali.”
HOMAIGATTT. Jadi aku bukanlah orang pertama yang menemukan
si Greek God? Oh well, mengingat setiap
manusia punya mata, aku bisa berharap apa sih?
“Siapa sih dia, Yo? Masya Allah... gue sampe speechless.”
Satrio tertawa. “Sumpah Vix, dari semua customer gue yang jadi langganan disini,
gue paling nggak bisa ngebayangin lo jadi kayak barusan. Dia nggak seganteng
itu kali.”
Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya sambil
mencibir, “Ah, itu sih lo aja jealous
sama dia. Kompetisi di antara pria—”
Lagi-lagi Satrio tertawa. Ia kemudian menyela
kata-kataku. “Namanya Ilham. Kantornya di PetroWorld. Itu pun gue tau karena liat
ID Cardnya tiap kali dia pesan kopi.”
“Oh berarti bener ya.”
“Bener apanya?”
“Oh nggak.” Aku memamerkan senyuman. “Tadi ada yang manggil
dia ‘Ilham’ makanya gue menduga itu namanya.”
“Ya menurut lo, Vix?” Satrio melemparkan pandangan
nista. “Kalau dia noleh waktu dipanggil, ya itu pasti namanya kali.”
Tapi aku mengabaikan nada sinis di kata-kata Satrio
barusan. Well, suasana indah karena nasib baik bisa bertemu Greek God macam
Ilham-si-jas-abu-abu-dengan-dada-bidang nggak boleh dikacaukan dengan hal-hal negatif
macam pernyataan Satrio barusan. “Terus-terus, Yo? Apa lagi infonya? Dia sering
kesini ya? Tiap hari? Tiap jam berapa? Eh, dia kerja di PetroWorld lantai
berapa?”
Kalau di komik-komik, aku bisa membayangkan pasti saat
ini kepala Satrio kayak dipukul pakai palu godam dan di wajahnya ada tetesan
air keringat yang menutupi hampir seluruh muka. Heheheh. Sorry, but I can’t help.
“Lo kepo amat sih, Vix.”
“Ini bukan kepo.” Aku langsung menyanggah. “Ini gue
lagi riset.”
Satrio memutar bola matanya seolah berkata ‘yeah-whatever-you-say-but-I-don’t-buy-it’.
Ia lalu menatapku dengan serius dan berbisik. “Yang gue tau, namanya Ilham,
sukanya caramel macchiato panas,
datang kesini nggak tentu jam berapa. For
everything else, there’s Google.”
Aku langsung melotot. “Mana bisa nge-googling hanya dengan informasi
sesedikit itu?? Nama panjangnya siapa?”
Satrio berlalu dari hadapanku dan menjawab dengan
nggak peduli. “Mana gue tau. Banyak hal yang lebih penting untuk gue ketahui
dari pada ngapalin nama panjang orang.”
Aku mengikutinya ketika ia berjalan menuju pintu
masuk. “Eh Yo, seriusan nih. Kalau dia kesini lagi lo perhatiin deh ya nama
panjang di ID Cardnya siapa, terus kalau bisa lo singgung-singgung soal gue,
ya. Apa kek gitu. Bilang gue cantik atau apa.”
Okay, kini Satrio nggak lagi memandangku seolah-olah
aku gila, tapi kayaknya dia udah yakin bahwa aku ini memang gila. Ia memijit
keningnya yang aku tahu sebenernya nggak apa-apa. Dia hanya berlebihan aja. “Karma
macam apa yang membuat gue punya customer
kayak elo, Vix...”
“Heh! Justru berkah kali punya customer kayak gue. Hidup lo jadi berwarna. Ya nggak?’ aku
memamerkan senyuman lebar lalu secepat kilat aku merubah ekspresiku menjadi
ekspresi anak anjing tersesat. “Please,
Yo? Pretty please? Lo barista paling oke di seluruh negeri deh.”
Satrio mencibir.
Aku masih memasang ekspresi yang sama. It’s about time. Pasti dia akan kasihan kok.
Akhirnya setelah beberapa saat, “Iya. Iya.” Satrio
menyerah. “Nama panjangnya aja, kan?”
See? Bener kan?
“Weits, masa itu doang?” aku kembali nyengir. “Tanggung
ah. Singgung-singgung dikit lah tentang gue. Terus cari info yang lebih dalam
dong tentang dia.”
“Seperti?” Satrio mengangkat alisnya.
Aku mengangkat bahu. “Yah seperti—” aku menambah lebar
senyuman. “—informasi apakah dia udah punya pacar atau belum.”
“Oh.” Satrio menampakkan ekspresi nggak tertarik. “Menurut
lo mungkin nggak cowok kayak gitu nggak punya cewek?”
Eh? Oh iya juga sih.
“Nah,” Satrio kini tersenyum seolah-olah senang
membuatku tersadar. “Lagi pula gue beberapa kali ngeliat ada cewek yang sering
nunggu dia disini kalau sore. Terus mereka pulang bareng.”
Eh? EH? EHHH???
Seolah-olah nggak cukup hanya membuatku tersadar,
Satrio juga membuatku tertampar. Aku mengerang dengan frustasi.
Rrrgghh, eligible
guy, Y U NO AVAILABLE??
[bersambung]
*Falling in Love at a Coffee Shop adalah lagu dari Landon Pigg
SUKA!!!!!! >o<
ReplyDelete