Wednesday, August 22, 2012

[Short Story]: Meet Cute - Part 3


MEET CUTE [part 3]

Aku mengklik tanda send/receive yang ada di Microsoft Outlook untuk kesekian kalinya hanya untuk menemukan bahwa nggak ada email yang masuk ke dalam inboxku. Well, ada sih email yang masuk, tapi semuanya mengenai kerjaan kantor. Sekalinya ada email urusan pribadi, itu hanya Shirin, sahabatku, yang mengingatkan kalau pulang kantor aku harus nemenin dia ke salon untuk potong rambut. Ish, aku nggak ngerti, kenapa sih potong rambut aja mesti dianterin. Maksudku, keberadaanku disana kan nggak ada pengaruhnya sama sekali. Lain halnya kalau stylistnya yang nggak ada, baru tuh Shirin boleh panik.
Tapi ya, you know, demi sahabat, aku akhirnya membalas email Shirin dengan persetujuan untuk menemaninya ke salon sehabis pulang kantor.
Nggak gratis, tentunya.
Hey, there’s no such thing as a free lunch. Apalagi di dunia kapitalis kayak gini.
Eh tadi aku lagi ngomongin apa sih? Kok jadi ngelantur ke Shirin. Oh iya, email.
Hari ini aku sama sekali nggak konsen bekerja. Yah, bukan berarti tiap hari konsen juga sih, tapi hari ini lebih-lebih, karena aku menanti datangnya email tagihan laundry dari Ilham.
Baru kali ini aku menantikan datangnya tagihan dengan excited. Biasanya aku selalu bayar semua tagihan menjelang tanggal jatuh tempo tanpa ada rasa excited sama sekali. Tapi khusus tagihan yang ini aku harus bayar lunas di muka juga nggak apa-apa deh.
Sayangnya, harapan dan kenyataan itu sering banget nggak sejalan. Ini adalah salah satu momennya.
Sekali lagi aku mengklik tombol send/receive dan nggak ada email baru yang masuk.
Aku menghela napas sebal.
“Vix?” aku mendengar Tita, teman sebelah kubikelku, memanggil. “Lo bisa baca nggak, sih, ini apa ya bacanya?” ia kemudian menyodorkan selembar kertas memo yang berisi disposisi dari Pak Sastro, bos kami.
Aku mengambil kertas tersebut dan berusaha membaca tulisan Pak Sastro.
Astaga, Pak Sastro dulu waktu SD sering bolos waktu pelajaran menulis halus ya? Kurasa isi tulisannya hanya bisa dipecahkan oleh pemecah kode paling handal yang dimiliki negara ini.
Aku mengembalikan kertas tersebut kepada Tita sambil mengangkat bahu tanda menyerah. Ia tampaknya sudah memprediksi bahwa aku akan mengalami kebuntuan yang sama seperti dirinya, maka ia hanya mengucapkan terima kasih dan dengan hopeless celingak-celinguk mencari orang lain untuk dimintai tolong.
Ketika ia hendak berbalik, aku tiba-tiba teringat sesuatu dan menahannya. “Eh, Ta. Bentar.”
Tita berhenti dan mengangkat alisnya, “Kenapa?”
“Errr, lo kenal anak-anak PetroWorld, nggak?”
Tita masih mengangkat alisnya. Nggak ngerti.
Ini kayaknya pertanyaan yang aku ajukan salah deh. Aku memperbaikinya dengan bertanya, “Err, maksud gue, lo kan punya temen tuh anak PetroWorld—itu tuh yang suka makan siang sama lo di bawah?” walaupun pernah dikenalin, aku sama sekali nggak ingat sama temannya Tita itu. “Nah, maksud gue—errr, lo kenal nggak sama anak PetroWorld yang lain?”
Tanpa kuduga, Tita tersenyum mengerti seolah tahu maksudku bahkan tanpa aku perlu lontarkan. Ia menghampiriku dan bertanya menggoda, “Maksud lo, lo mau nanya apa gue kenal siapakah-entah-orang-yang-lo-maksud yang anak PetroWorld?”
Aku langsung tersenyum lebar. NAH, Tita emang jenius.
Well, atau aku aja yang terlalu gampang ditebak.
“Kenal yang namanya Ilham?” tanyaku tanpa menyia-nyiakan waktu.
Tita berpikir sejenak. Ia tampak berpikir lalu menggeleng. “Nggak pernah tau. Kayak gimana orangnya?”
Aku berusaha mengingat-ingat Ilham seperti apa. Sedetail apa pun sosoknya ada di kepalaku, yang keluar dari mulutku hanyalah, “Tinggi—errr, ganteng?”
Tita memutar bola matanya. “Yeh. Deskripsi yang bagus, Vix. Dan oh, gue nggak pernah kenal ada anak PetroWorld yang ganteng. Lo salah kali.”
“Ah, masa sih, Ta?” aku meragukannya. Satrio nggak mungkin salah kan ketika dia bilang bahwa Ilham bekerja di PetroWorld?
Tita mengangkat bahu. “Nggak tahu sih, cuma nanti gue tanya Zakki deh.”
NAH! Itu dia nama temennya Tita. Zakki.
“Tanyain ya, Ta.” Aku tersenyum makin lebar.
“Tanyain apa?”
Rasanya aku ingin menggetok kepala Tita deh. “Tanya nama neneknya si Ilham itu siapa. Ya menurut loooo?”
Tita tertawa. Untungnya dia udah terbiasa dengan drama hidupku.”Iya, iya. Ntar coba gue tanya Zakki. Udah itu aja?” tanyanya sebelum meninggalkan kubikelku.
Aku hanya tersenyum lebar dan mengangguk.
“Eh, Vix.” Tita kembali berbalik dan memanggilku setelah berjalan beberapa langkah. “Gue lupa. Jumat besok PetroWorld ngadain charity day—”
Aku menyimak dengan tertarik. “Terus?”
“—yah, mereka tuh charity day-nya dari tahun ke tahun idenya selalu unik. Nggak kayak charity day pada umumnya.”
Lah, charity day kayak gimana sih? Aku baru tahu kalau PetroWorld dari tahun ke tahun mengadakan charity day. Well, aku juga kerja disini belum sampai setahun sih. Tapi seharusnya charity day dimana-mana mirip bukan?
“Emang charity day yang kayak gimana?” tanyaku penasaran.
Tita kini tersenyum lebar, nggak seperti biasanya. “Macam-macam sih, biasanya seru. Tapi tahun ini yang bikin menarik, kata Zakki, mereka ngadain semacam speed dating. Pegawai PetroWorld yang single dikumpulin, terus pengunjung bisa milih siapa aja buat ngedate selama lima belas menit, tapi tentunya abis itu lo nyumbang ya. Decent amount.”
Aku melotot.
Ya Tuhan. CHARITY DAY MACAM APA ITU?
Menjual pegawainya sendiri dengan berkedok amal. Ckckckck... uh, well, nggak gitu-gitu amat kali ya?
“Jadi,” Tita semakin tersenyum melihat wajahku yang sangat terkejut. “Kalau lo mau nyari si Ilham-Ilham ini, lo dateng aja Jumat besok ke charity day-nya. Kalau dia nggak available sebagai single yang ikut speed dating, lo tau bahwa dia—yah, udah gak available.”
Sementara otakku masih berusaha memroses informasi ini, mulutku sudah keburu bertanya kepada Tita. “Charity day-nya dimana?”
Ballroom lantai tiga.” Ia kemudian mengedipkan matanya. “Lo mau ikut? Gue PASTINYA mau ikut.”
Melewatkan kesempatan bertemu dengan Ilham lagi? No way. Kalaupun ternyata dia nggak available, at least kan aku nggak penasaran. Maka, dengan senyuman sumringah di wajah, aku menjawab pertanyaan Tita. “Count me in! Jam berapa?”
Ya Tuhan. Aku murahan banget sih.
Tita mengangkat bahu, “Gue tanya Zakki dulu. Ntar gue kabarin. Sementara, jangan taruh ekspektasi lo terlalu tinggi. Gue nggak mau menghabiskan Jumat sore sambil dengerin lo misuh-misuh karena menemukan gebetan lo nggak available.”
Aku meresponnya dengan melemparkan post it berukuran kecil. Sial, aku nggak se-desperate itu kali.

Read more!

Monday, August 13, 2012

[short story] Meet Cute - part 2

Untuk yang belum baca part 1-nya, silakan mampir dulu ke Meet Cute part 1. Sebuah (rencananya) cerita pendek yang sampai sekarang belum jelas mau kemana, hehehe...

Eh, makasih lho, walaupun belum jelas mau kemana tapi tetap ngebaca ;)) so, here's the second part. 

Happy reading. Semoga suka.



MEET CUTE [part 2]



Aku nggak ingat kapan terakhir kalinya bersikap bodoh kayak barusan. Nggak bisa bergerak dari tempatku berdiri sampai si cowok yang seperti Greek God itu benar-benar menghilang dari pandangan. WELL, OKAAAYYY... aku emang sering banget bertindak bodoh, tapi nggak pernah ada yang sebodoh tadi. Nggak meneteskan air liur aja udah untung. Eh, bener kan, aku nggak sampai drooling? Tiba-tiba aku merasa panik.
“Lo yang numpahin ini ya, Vix?” tiba-tiba Satrio sudah berada di depanku dengan wajah menyelidik.
Aku, mungkin masih dengan tatapan dreamy, menoleh ke arah Satrio. “Hmmm? Kenapa, Yo?”
Tatapan Satrio semakin tajam, “Yang bener aja, Vix?”
Aku memandangnya dengan nggak ngerti. “Yang bener aja apa, Yo?”
Ia mencibir lalu meninggalkanku masuk ke dalam pantry. Nggak lama kemudian ia muncul lagi sambil membawa kain pel dan tanpa banyak berkata-kata langsung membersihkan tumpahan kopiku yang berceceran di lantai.
Aku jadi merasa bersalah. “Maaf ya, Yo.” Tapi selain itu nggak melakukan apa-apa selain berdiri dengan canggung. Ya abisan aku bisa berbuat apa lagi? Nggak mungkin juga kan ngebantuin ngepel?
Aku bisa mendengar ia mendengus sebal. “Iya, nggak apa-apa. Lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh kayak gini.” Setelah lantai bersih, ia kembali masuk untuk meletakkan kain pelnya.
“HAH? Maksudnya?” aku bertanya balik karena nggak mengerti maksud dari pernyataan Satrio barusan. Ketika dia muncul kembali, aku mengulang pertanyaanku. Kali ini dengan nada yang agak pushy. “Maksudnya bukan orang pertama yang numpahin kopi ke lantai dengan nggak sengaja?”
Satrio mengangkat bahu dan menjawab tanpa ekspresi. “Bukan.” Katanya. “Maksud gue, lo bukan orang pertama yang melakukan tindakan bodoh di depan cowok tadi.”
Tiba-tiba aku langsung merasa adrenalinku meningkat dan otakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang ingin aku lontarkan semuanya sekaligus ke Satrio, seperti siapa nama lengkapnya, kerja dimana, udah nikah belom, kalau belom punya pacar nggak, kalau nggak punya, tipe ceweknya yang kayak gimana. Tapi sayangnya mulutku nggak bisa berbicara secepat otakku berpikir. Maka yang pertama kutanyakan adalah, “LO TAU SIAPA DIA BARUSAN, YO??”
Errr, tapi kok pertanyaanku barusan nadanya terdengar seperti orang yang ngajak berantem ya? Well, harusnya sih Satrio ngerti kalau itu adalah nada excited.
Satrio memandangku seolah-olah aku ini gila atau apa. “Ya iyalah tau. Dia hampir tiap hari beli kopi.’
“Siapa Yo, SIAPAAAA..??”
“Nah. Lo bersikap kayak cewek-cewek lain, deh.”
“HAH? MAKSUDNYA?? Maksud lo udah banyak cewek lain yang histeris kayak gue?”
“Yah menurut looo?” lagi-lagi Satrio mencibir. “Kalau lo orang pertama yang kayak gini, reaksi gue nggak akan sebosan barusan kali.”
HOMAIGATTT. Jadi aku bukanlah orang pertama yang menemukan si Greek God? Oh well, mengingat setiap manusia punya mata, aku bisa berharap apa sih?
“Siapa sih dia, Yo? Masya Allah... gue sampe speechless.”
Satrio tertawa. “Sumpah Vix, dari semua customer gue yang jadi langganan disini, gue paling nggak bisa ngebayangin lo jadi kayak barusan. Dia nggak seganteng itu kali.”
Aku mengibaskan tangan di depan wajahnya sambil mencibir, “Ah, itu sih lo aja jealous sama dia. Kompetisi di antara pria—”
Lagi-lagi Satrio tertawa. Ia kemudian menyela kata-kataku. “Namanya Ilham. Kantornya di PetroWorld. Itu pun gue tau karena liat ID Cardnya tiap kali dia pesan kopi.”
“Oh berarti bener ya.”
“Bener apanya?”
“Oh nggak.” Aku memamerkan senyuman. “Tadi ada yang manggil dia ‘Ilham’ makanya gue menduga itu namanya.”
“Ya menurut lo, Vix?” Satrio melemparkan pandangan nista. “Kalau dia noleh waktu dipanggil, ya itu pasti namanya kali.”
Tapi aku mengabaikan nada sinis di kata-kata Satrio barusan. Well, suasana indah karena nasib baik bisa bertemu Greek God macam Ilham-si-jas-abu-abu-dengan-dada-bidang nggak boleh dikacaukan dengan hal-hal negatif macam pernyataan Satrio barusan. “Terus-terus, Yo? Apa lagi infonya? Dia sering kesini ya? Tiap hari? Tiap jam berapa? Eh, dia kerja di PetroWorld lantai berapa?”
Kalau di komik-komik, aku bisa membayangkan pasti saat ini kepala Satrio kayak dipukul pakai palu godam dan di wajahnya ada tetesan air keringat yang menutupi hampir seluruh muka. Heheheh. Sorry, but I can’t help.
“Lo kepo amat sih, Vix.”
“Ini bukan kepo.” Aku langsung menyanggah. “Ini gue lagi riset.”
Satrio memutar bola matanya seolah berkata ‘yeah-whatever-you-say-but-I-don’t-buy-it’. Ia lalu menatapku dengan serius dan berbisik. “Yang gue tau, namanya Ilham, sukanya caramel macchiato panas, datang kesini nggak tentu jam berapa. For everything else, there’s Google.”
Aku langsung melotot. “Mana bisa nge-googling hanya dengan informasi sesedikit itu?? Nama panjangnya siapa?”
Satrio berlalu dari hadapanku dan menjawab dengan nggak peduli. “Mana gue tau. Banyak hal yang lebih penting untuk gue ketahui dari pada ngapalin nama panjang orang.”
Aku mengikutinya ketika ia berjalan menuju pintu masuk. “Eh Yo, seriusan nih. Kalau dia kesini lagi lo perhatiin deh ya nama panjang di ID Cardnya siapa, terus kalau bisa lo singgung-singgung soal gue, ya. Apa kek gitu. Bilang gue cantik atau apa.”
Okay, kini Satrio nggak lagi memandangku seolah-olah aku gila, tapi kayaknya dia udah yakin bahwa aku ini memang gila. Ia memijit keningnya yang aku tahu sebenernya nggak apa-apa. Dia hanya berlebihan aja. “Karma macam apa yang membuat gue punya customer kayak elo, Vix...”
“Heh! Justru berkah kali punya customer kayak gue. Hidup lo jadi berwarna. Ya nggak?’ aku memamerkan senyuman lebar lalu secepat kilat aku merubah ekspresiku menjadi ekspresi anak anjing tersesat. “Please, Yo? Pretty please? Lo barista paling oke di seluruh negeri deh.”
Satrio mencibir.
Aku masih memasang ekspresi yang sama. It’s about time. Pasti dia akan kasihan kok.
Akhirnya setelah beberapa saat, “Iya. Iya.” Satrio menyerah. “Nama panjangnya aja, kan?”
See? Bener kan?
“Weits, masa itu doang?” aku kembali nyengir. “Tanggung ah. Singgung-singgung dikit lah tentang gue. Terus cari info yang lebih dalam dong tentang dia.”
“Seperti?” Satrio mengangkat alisnya.
Aku mengangkat bahu. “Yah seperti—” aku menambah lebar senyuman. “—informasi apakah dia udah punya pacar atau belum.”
“Oh.” Satrio menampakkan ekspresi nggak tertarik. “Menurut lo mungkin nggak cowok kayak gitu nggak punya cewek?”
Eh? Oh iya juga sih.
“Nah,” Satrio kini tersenyum seolah-olah senang membuatku tersadar. “Lagi pula gue beberapa kali ngeliat ada cewek yang sering nunggu dia disini kalau sore. Terus mereka pulang bareng.”
Eh? EH? EHHH???
Seolah-olah nggak cukup hanya membuatku tersadar, Satrio juga membuatku tertampar. Aku mengerang dengan frustasi.
Rrrgghh, eligible guy,  Y U NO AVAILABLE??

[bersambung]



*Falling in Love at a Coffee Shop adalah lagu dari Landon Pigg



Read more!

Friday, August 10, 2012

[short story]: Meet Cute

Beberapa waktu yang lalu ada beberapa orang yang sudah membaca Fly to the Sky bilang kepada saya kalau suka banget sama tokoh Ilham, kakaknya Edyta. Well, saya juga suka sih. Tapi ternyata kemudian terjadi pemaksaan untuk membuat buku tentang Ilham dan bahkan meminta 'Ilham' untuk membuat account Twitter.

Sebenarnya Ilham ini adalah tokoh utama di buku saya yang pertama, Simple Lie. Udah, nggak usah dicari, wong pasti udah bakalan nggak ada juga. Udah diskontinyu deh kayaknya, hehehe... Jadi untuk yang meminta supaya Ilham dibikinin buku, uhm--kayaknya agak susah diwujudkan dalam waktu dekat ^^

Tapiiii, sebagai gantinya, saya akan membuat cerita pendek tentang Ilham deh. Cerita pendeknya akan saya posting secara bersambung beberapa kali (bukan apa-apa, idenya masih dalam pengembangan, jadinya gak bisa diposting semua, hehehe...). Kalau ada masukan, silakan ya.

Happy reading. Semoga menghibur.



MEET CUTE [part 1]

Mungkin karena kebanyakan baca novel romance, aku agak terobsesi dengan meet cute. Tahu nggak apa itu meet cute? Meet cute itu ketika Hero dan Heroine-nya bertemu untuk pertama kali dan, you know, kejadiannya very cute, adorable, unik, lucu. Yeah, like… very cute.
Well, aku bukan orang yang bisa menjelaskan sesuatu dengan baik. Tanya aja sama bosku kalau aku lagi presentasi. Aku suka melantur kemana-mana kalau lagi menjelaskan sesuatu.
Eh, tadi aku lagi ngomong apa sih?
Oh ya, meet cute.
Jadi ya, selama ini aku selalu memimpikan suatu hari akan bertemu dengan cowok yang akan jadi pasanganku dengan meet cute. Kayak Kate Beckinsale dan John Cusack di Serendipity gitu atau Cameron Diaz dan Jude Law di The Holiday atau Emily Blunt dan Matt Damon di The Adjustment Bureau. Ya semacam itu lah. Tapi ya, kalau suatu hari terjadi meet cute seperti versi Serendipity, aku nggak akan lah melakukan hal bodoh yang membuat terpisah selama sekian tahun. Nyusah-nyusahin diri aja.
Tapi selama ini nggak pernah tuh sama sekali aku mengalami meet cute dengan cowok-cowok yang menjadi pacarku. Lima kali pacaran, lima kali aku bertemu dalam kondisi biasa-biasa aja atau bahkan sebenernya aku udah kenal lama sama orangnya. Well, tiga dari lima mantan pacarku dikenalin di acara resepsi pernikahan sih. Sisanya teman sekolah. Nothing cute about it.
Barusan aku selsai membaca novel young adult berjudul The Boyfriend Game karya Elizabeth Chandler. Yeah, walaupun usiaku jauh dari bisa dikategorikan sebagai young adult, tapi selama masih ada kata-kata adult di dalam young adult, aku nggak akan ambil peduli. Lagi pula cerita-cerita anak SMA itu beneran cute dan heartwarming—mungkin karena mereka belum mengenal ujian hidup sesungguhnya kali ya.
Balik ke novel tersebut, hero dan heroine-nya bertemu pertama kali dengan adegan yang cute. Awww, anak-anak SMA ini menggemaskan banget, deh. Seandainya aja masa SMA-ku ada cowok macam Graham (itu nama tokoh utamanya yang, well—cute), sayangnya SMP dan SMAku dihabiskan di sekolah khusus perempuan. Aku berjanji, kalau nanti punya anak, aku akan memasukkan mereka ke sekolah heterogen, biar bisa merasakan yang namanya naksir-naksiran sama lawan jenis.
Eh, tapi mungkin sekarang saatnya kembali ke realita—gedung kantorku sudah di depan mata. Aku memasukkan The Boyfriend Game ke dalam tas dan mengarahkan supir taksi untuk berhenti tepat di lobby utama.
Setelah memberikan dua lembar uang puluhan ribu kepada supir taksi, aku berjalan memasuki gedung kantor. Aku tersenyum kepada satpam kantor ketika ia dengan ramah menyapa, “Selamat pagi, bu.” Sambil mengambil tote bag extra large milikku untuk diperiksa melalui benda seperti kotak rontgen yang ada di lobby utama. Aku kasih tahu ya, walaupun aku suka banget sama gedung kantorku yang sleek, sophisticated dan modern ini, tapi hal yang paling menyebalkan dari semuanya adalah bagian diperiksa kotak rontgen itu. Soalnya bisa membuat antrian panjang orang yang akan masuk. Dan itu sangat menyebalkan.
Tapi overall, PetroWorld Tower ini luar biasa keren. Lobbynya aja kayak hotel bintang lima, wifi di seluruh gedung sangat cepat (aku sering lho download film dan serial—tapi jangan bilang-bilang bosku ya), dan banyak bule-bule bersliweran karena ada beberapa perusahaan multinasional yang menyewa tempat disini—termasuk lima belas lantai yang dikuasai oleh PetroWorld, perusahaan minyak asal Kanada, yang menjadikan Jakarta sebagai kantor representatif untuk kawasan Asia Pasifik. Sementara kantorku sendiri mengambil empat lantai di gedung ini di lantai 21-24, itu pun kayaknya terlalu luas deh. Masih banyak spot kosong yang belum terpakai.
Aku berjalan menuju Starbucks yang terletak di pojok kanan lobby utama. Biasanya sepagi ini masih sepi. Para barista-nya masih merapikan kursi atau membersihkan lantai dan nggak berkeberatan kalau aku menghabiskan pagi dengan duduk-duduk sambil membaca buku padahal mereka belum siap.
Pintu Starbucks terbuka lebar. Samar-samar aku bisa mendengar suara mesin berdengung ketika berjalan memasuki kedai kopi tersebut. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan nggak menemukan satu pun barista di sana. Mereka pada kemana, sih?
Aku berdiri di depan kasir dan mendongak untuk membaca papan yang penuh bertuliskan segala macam jenis minuman. Hari ini aku mau yang beda dengan biasanya ah. Biasanya aku selalu pesan hazelnut latte panas, tapi hari ini mungkin aku pesan caramel latte aja. Aku melihat jam tangan, masih ada 45 menit sebelum masuk.
Dari dalam tiba-tiba muncul Satrio, barista favoritku, yang berjalan memamerkan senyuman lebar lalu menyapaku. “Morning Vix. Kayak biasa?” ia memencet-mencet mesin cash register di hadapannya.
Aku balas tersenyum, tapi lalu menggeleng. “Caramel latte kali ini, Yo. Grande aja.”
Satrio hanya berkomentar, “Tumben.” Tapi lalu segera membuat pesanan yang aku minta.
Aku bergeser ke counter tempat mengambil pesanan sambil nggak melepaskan pandangan dari timeline Twitterku yang tampaknya pagi ini penuh dengan orang menyumpah-ntumpah karena jalan Antasari macet panjang luar biasa akibat ada truk gandeng terguling. Emang sejak kapan sih ada truk gandeng lewat Antasari?
Samar-samar aku mendengar suara Sisy, barista yang lain, menyapa pelanggan yang baru datang. Beberapa saat kemudian Satrio menyodorkan paper cup berukuran sedang di hadapanku. Aku tersenyum lalu mengantongi iPhone dan membuka tutup paper cup untuk menghirup aromanya. “Thanks ya, Yo.” Lalu berbalik dan—
—membentur seseorang dan menumpahkan setengah gelas caramel latte hangatku ke dada seorang cowok.

---------


Cowok tersebut reflek melompat ke belakang sambil terlihat kepanasan.
Aku melongo sesaat sebelum akhirnya dengan panik berkata, “YA TUHAN. MAAF-MAAF!”  sambil meletakkan kembali paper cup tersebut di atas counter. Terburu-buru aku mengeluarkan tissue basah dari dalam tas sambil mulutku nggak berhenti-berhenti mengucapkan maaf. Dengan gugup aku mengambil beberapa  helai tissue basah dari bungkusnya dan berusaha untuk membersihkan jas abu-abunya yang kini penuh dengan noda gelap.
“Hey, it’s okay. Nggak apa-apa.” Suara berat cowok itu seketika membuatku tersadar dan tanganku langsung berhenti dari usaha membersihkan yang sia-sia.
Saat itu aku baru mendongak dan melihat wajah cowok yang nggak sengaja ketumpahan kopi tersebut. Efeknya sangat luar biasa.
Aku menganga nggak percaya. Kalau Tuhan menciptakan manusia berdasarkan mood, maka mood Tuhan pasti lagi bagus banget ketika menciptakan makhluk di hadapanku.
Wajahnya terlihat dingin namun nggak mengurangi—well, aku bisa bilang apa ya? Cowok ini kelihatan sangat gorgeous. Mungkin bukan orang paling tampan sedunia, tapi dia terlihat sangat charming dan auranya bisa membuat orang menoleh dua kali.
Sayang auranya nggak bisa membuatku menoleh supaya nggak menumpahkan setengah gelas caramel latte hangat ke jas abu-abunya.
“It’s okay.” Dia tersenyum sambil mengambil tissue dari tanganku dan berusaha membersihkan sisa kopi yang masih mengalir. Sementara aku hanya bisa terdiam di tempat, melihatnya melepas jas dan kini hanya mengenakan kemeja putih di dalamnya.
Ia memandangku sambil tersenyum. Aku nggak ngerti gimana caranya dia masih bisa tersenyum dengan kejadian barusan. Karena kalau aku jadi dia, aku pasti akan ngomel-ngomel sampai orang yang menumpahkan kopi di pakaian kerjaku dan aku nggak akan berhenti sampai orang tersebut kena karma.
Yeah, I’m that mean.
See?” ia mengangkat tangan kanannya yang kini memegang jas abu-abu. Ia tersenyum. Tapi aku tahu bahwa senyumannya nggak mencapai mata.
Ya Tuhan, aku merasa buruk banget.
“Maafin saya ya, Mas.” Aku berkata sungguh-sungguh dan memasang ekspresi anjing kecil tersesat. Biasanya suka berhasil kalau aku sedang membujuk siapa pun. Kecuali ibu bos.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum tipis. “Shit happens.” Katanya sambil mengengkat bahu.
Well, I think I’m that shit he’s referring to. Bahkan tanpa melihat ke cermin, aku tahu bahwa wajahku memerah.
Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. “Eh tunggu—” Buru-buru aku merogoh ke dalam tote bag dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Errgghh, mana sih kotak kartu nama ketika kita butuhkan? Dompet, tempat kaca mata, buku, iPad, mukena, dompet koin—MANA SIH BENDA SIALAN ITU??
AH! Akhirnya ketemu juga. Aku mengeluarkan selembar kartu namaku dan memberikan ke si cowok-yang-senyumannya-nggak-sampai-mata sambil terburu-buru mengucapkan semua hal yang ada di kepalaku sebagai permohonan maaf. “Ini kartu nama saya. At least saya berhutang biaya laundry.” Aku berusaha menenangkan suaraku yang terdengar gugup. Gugup karena merasa bersalah dan gugup karena nggak tiap hari aku ketemu cowok gorgeous kayak gini. “Nanti kalau udah selesai laundry, hubungi saya aja. Nanti saya ganti biayanya.”
Cowok tersebut menerima kartu namaku dan tampak membacanya dengan teliti. Ia kemudian tersenyum tipis, mengangkat wajahnya dan kini memandangku sambil bertanya. “Oh. Flash Box?” ia mengangkat alis sambil meneybutkan nama perusahaan tempatku bekerja..
Aku mengangguk. “Sekali lagi maaf ya.”
Ia nggak menjawab dan justru kembali memerhatikan kartu namaku dengan seksama. “Nama yang bagus. Nareswari Nasution. Saya harus manggil kamu apa?” ia kembali menatapku, tanpa senyum.
Aku tersenyum gugup. “Vix. Bisa panggil saya Vix. V-I-X.” dan kalau aku gugup, selain memiliki kecenderungan untuk melantur kemana-mana, aku juga bertendensi untuk memberikan informasi yang nggak penting. Kayak ini barusan. Ngapain juga aku kasih tau ejaan namaku itu gimana?
“V-I-X?” alisnya terangkat makin tinggi.
“Kependekan dari Victoria. Ada ‘Victoria’ di antara Nareswari dan Nasution. Lihat huruf V disitu? Nareswari V. Nasution? Nah itu asalnya.”
Kini aku bisa melihat kini ia tersenyum lebar. “Ok Vix, will let you know kalau tagihan laundrynya datang.” Ia maju beberapa langkah melewatiku untuk mengambil pesanan kopinya yang sudah tersedia di atas counter.
“Ilham!!” tiba-tiba aku mendengar suara memanggil dari pintu masuk yang berbatasan dengan lobby. Tampak seorang cowok mengenakan jas biru gelap dan celana panjang warna senada, wajahnya tampak kesal. “Cepetan. Udah ditungguin, nih.”
Tampaknya cowok ini bernama Ilham, karena ia langsung mengangkat tangannya dan balas menjawab. “Bentar.” Lalu ia kembali berbalik menatapku dan berkata, “Sampai ketemu, ya.” Lalu berjalan menuju pintu keluar sambil membawa paper cup di tangan kiri dan jas abu-abu yang sudah ternoda kopi di tangan kanan.
Bahkan dari belakang aja cowok ini terlihat yummy.
“Jangan lupa tagihannya, ya!” aku berteriak ketika cowok tersebut sudah berada di ambang pintu. Ia menoleh sedetik sambil mengangguk dan tersenyum lalu menghilang menuju pintu keluar lobby.
Aku masih terpaku di tempat sampai cowok tersebut benar-benar hilang dari pandangan.
Waaaww. That WAS the MEET CUTE. Aku berpikir sambil tersenyum sendiri—namun tiba-tiba dihantam kesadaran.
DIA NGGAK MEMBERITAHU NAMANYA!! MEET CUTE MACAM APA INI???
Oh well, at least aku masih ada harapan dia benar-benar membebankan tagihan laundrynya kepadaku. Tapi sampai saat itu tiba, mari berharap aku bisa bertemu dengannya lagi dalam jangka waktu dekat ini.

[bersambung]







Read more!

Saturday, August 4, 2012

yay!

dua hari yang lalu mendapatkan kabar dari editor saya:
Draft Syiana sudah diapprove untuk diterbitkan!! Shouldn't I say: YEAY??


YEAYYYYYY..!!


Gonna keep you update by posting little parts of the story. Yay!



Read more!