Monday, December 3, 2012

Goodbye



Read more!

Sunday, November 11, 2012

Meet Cute - Part 5




Aku tahu bahwa semua orang waras di dunia ini yang bekerja menjadi corporate slave pasti mendambakan datangnya hari jumat. Simply karena akan mendapatkan dua hari libur setelah hari jumat. Makanya ada istilah TGIF atau Thank God It’s Friday. Dan buatku, biasanya penantian akan hari Jumat itu dimulai sejak...hari Senin. Hehehe.
Khusus untuk minggu ini, rasa nggak sabarku supaya hari Jumat datang semakin berlipat ganda. Tripel malahan.
Terutama ketika pagi ini aku melihat poster charity day-nya PetroWorld di lobby gedung. Ada dua perempuan yang sedang berdiri sambil bergosip di depannya. Aku mengenali salah satunya sebagai Mariska—cewek bawel yang kerja di kantor akuntan satu lantai di bawah Flash Box. Tangannya menunjuk-nunjuk poster tersebut sambil ngikik genit. Ih, ngeliatnya aja udah sebel.
“Hey, Vix!” ia melambaikan tangan ketika melihatku berjalan ke arahnya. “Udah lihat ini belum?”
Aku tersenyum dengan terpaksa. Males banget nih basa-basi dengan Mariska. Bukan apa-apa, dia seneng banget ngoceh dan ngegosip, dan genitnya minta ampun. Biasanya aku menghindari berinteraksi dengan dia kalau nggak sengaja ketemu.
“Apaan itu?” aku pura-pura nggak tahu.
“PetroWorld ngadain charity day! Tahun ini temanya—” dia melirik poster di sampingnya. “—speed date for charity.”
Aku mengangkat alis. Seolah-olah nggak tertarik. “Terus?”
Dia menatapku dengan euforia yang luar biasa. Matanya berbinar-binar. “Kita bisa ngedate sama cowok-cowok PetroWorld!!”
Cowok-cowok? Maksudnya plural gitu? Ini kayaknya aku harus membaca ulang terms and condition dari event ini deh. Katanya Tita ini bidding, kok bisa-bisanya si Mariska bilang ngedate dengan banyak cowok?
Aku melangkah untuk melihat posternya dengan lebih dekat.




Aku membaca kata-kata dalam poster tersebut dan mengingat-ingat contact person yang bisa dihubungi. Nanti mau aku email ah, mau nanya-nanya.
“Lo ikutan, Vix?” Mariska menepuk bahuku dengan bersemangat. “Are you looking for love?” Mariska membaca kata-kata yang terdapat di poster tersebut. “YA IYALAH..!! SIAPA JUGA YANG NGGAK NYARI CINTA HARI GINI??”
Aku meng-ssshhhh-kan Mariska supaya suaranya jangan keras-keras. Ya kali, kalau emang ternyata emang beneran nyari cinta nggak usah sampai seluruh dunia tau.
“Are you in, Vix?” ia mengibaskan rambutnya ke belakang dengan percaya diri. Tanpa menunggu jawabanku ia melanjutkan kata-katanya, “I’m so in! Lo tau nggak sih kalau ada anak PetroWorld yang emang udah gue incar dari dulu. Cuma belom kenalan aja. Tapi gue yakin kalau dia pasti bakalan ikutan acara ini. Oh my gosh, Vix. He’s soooooo hot. Kayak oven dengan suhu 250 derajat.”
Aku memandangnya dengan skeptis.
Mariska memiliki tendensi untuk melebih-lebihkan segala sesuatu. Kalau dia bilang cowok ini bersuhu 250 derajat, aku yakin mungkin aslinya hanya 30 derajat.
Sambil mengangguk-angguk, aku tersenyum tipis. “Good luck yah kalau  gitu.” Aku siap-siap berjalan menuju antrian orang yang akan naik lift.
“Hey Vix, lo sama Tita ikutan, kan?”
Lagi-lagi aku hanya nyengir. “Heheheh...”
“Lo harus lihat si cowok itu, Vix. Dia kayak cowok-cowok yang keluar dari iklan Abercrombie and Fitch. Yummy banget!!”
Aku mengangkat alis. “Oh ya?” aku nggak kenal banyak orang di PetroWorld, tapi seharusnya kalau ada jenis spesies kayak gitu, pasti aku pernah melihatnya dong di gedung ini. Pas lagi ngapain gitu. Satu-satunya yang mungkin cocok dengan deskripsi Mariska ya Cuma Ilham. Itu juga karena aku cuma tahu Ilham. Dan Zakki, temannya Tita.
“Iya. Waktu itu gue ketemu di Starbucks. Awww, dia keren bangettt. Sengaja gue duduk di depan dia, penasaran liat ID Cardnya.”
“Terus?”
“Namanya—” ia menarik napas dengan dramatis. “—Ilham Fauzi.”
Rasanya kayak ada bom yang dijatuhkan di kepalaku.
 




Read more!

Friday, October 5, 2012

[short story] Meet Cute - Part 4



Meet Cute – Part 4


“Ebuset, baru tau gue kalau ada charity day model gitu.” Shirin tertawa disela-sela suara gesekan gunting yang memotong rambutnya menjadi pendek. “Dan lo mau ikutan? Emangnya lo mampu nyumbang berapa?” ia kemudian tertawa dengan nggak sopannya.
Aku membalik-balik halaman majalah tanpa tertarik, lalu menjawab pertanyaan Shirin dengan nada bosan. “Yah itu kan bukan bidding kali, nggak perlu tinggi-tinggi. Beli tiket aja udah bisa speed dating sama dia.”
“Seriously?” Shirin mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik. “Kalau emang ternyata itu cowok sekeren yang lo bilang, gue mau ikutan juga dong.”
“Heh!” aku menatapnya tajam. “Finder’s keeper. Gue duluan yang nemuin!”
Shirin tertawa lebih keras. Untung aja kanan-kirinya lagi kosong, kalau nggak kasihan yang lain. Tawa Shirin itu supermengganggu.
Aku menambahkan, “Kalau lo mau, lo ikutan bidding aja gih. Pemenangnya makan malam satu jam sama Ilham. I think totally worth it.”
“Lo kenapa ngga ikutan bidding aja?”
Aku menggeleng. “Nggak punya uang. Hehehe... Lagian, kalau niatnya emang pengen nyumbang, nyumbang aja, nggak usah pakai embel-embel dinner sama Ilham.”
Shirin menatapku dengan sinis. “Tapi terus lo beli tiket untuk speed dating itu namanya apa?”
Aku tersenyum lebar, “Nah, kalau yang itu niatan gue emang kenalan sama Ilham. Charity is just a bonus.”
“Gilak.” Shirin tertawa. Aku ikutan tertawa. “Tapi gila ya, bisa bikin acara kayak gini. Gue pikir yang kayak gini hanya ada di film atau novel-novel.”
“Kadang ya Rin, batas antara fiksi dan realita itu tipiiisss banget.”
“Udah. Nggak usah sok filosofis—” Kata-kata Shirin terhenti ketika ada orang yang menghampiri.
Kayaknya petugas parkir di depan.
Si bapak itu bertanya, “Mbak yang punya Honda Jazz warna biru di depan ya?”
Aku mengalihkan pandangan dari majalah yang sedang kubaca ke arah petugas parkir salon yang sedang bertanya kepada Shirin.
Shirin mengiyakan, dan seolah tahu apa yang berikutnya akan keluar dari mulut si petugas parkir, ia menoleh ke arahku dan nyengir lebar. “Pretty please, Vix?”
Ini nih salah satu alasan kenapa Shirin memintaku menemaninya potong rambut. Untuk mindahin mobilnya kalau menghalangi mobil lain yang mau keluar. Shirin suka nggak percaya kepada petugas parkir untuk memindahkan mobilnya. Kayaknya ada pengalaman buruk.
Aku mencibir tapi nggak urung meletakkan majalah yang sedang aku baca ke atas meja dan berdiri. “Sekalian gue mau beli Quickly di depan. Lo mau nggak?”
Shirin melirikku sambil tersenyum lebar. “Mau laahh. Choco Taro ya.”
Aku mengambil kunci mobil yang ada di atas meja dan beranjak pergi. Baru beberapa saat melangkah, Shirin berkata dengan suara agak keras, “Esnya minta dikit aja, ya!”
Aku mengabaikannya dan berjalan menuju pintu keluar. Ketika sudah sampai di halaman parkir, aku mencari petugas yang tadi menghampiri kami ke dalam salon.
Oh itu dia.
Sambil berjalan menuju mobilnya Shirin, aku bertanya kepada si petugas parkir. “Yang mana yang mau keluar, mas?”
Si petugas menunjuk sebuah Toyota Yaris berwarna gelap yang parkir di depan mobil Shirin. “Itu mbak.”
Aku mengernyit. “Kok nggak ada orangnya?”
Logikanya, kalau udah nyuruh orang untuk mindahin mobil karena dianggap menghalangi jalan keluar, seharusnya pengemudi mobil tersebut sudah siap sedia untuk mindahin mobilnya juga. Jadi ketika aku mundurin mobil, dia udah siap keluar, dan aku gantian mengisi slot parkirnya.
Aku berdiri di samping mobil Shirin dan memencet tombol unlock pada remote ketika pintu salon terbuka dan—
Holy shit.
Yang barusan keluar dan berjalan tepat ke arahku adalah Ilham-si-cowok-yang-aku-tumpahin-kopi-tadi-pagi.
Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi—tanpa jas yang mungkin sekarang sudah masuk laundry—hanya saja lengan jasnya digulung sampai siku, membuatnya terlihat lebih kasual.
Ia menekan tombol pada remote untuk meng-unlock mobilnya, namun sebelum menarik handle pintu, ia menoleh ke arahku. Ke arah mobil Shirin yang menghalangi jalan lebih tepatnya.
Pandangannya berhenti di arahku. Ia sedikit mengernyitkan kening ketika menyadaro aku sedang berdiri di sisi mobil, lalu dengan canggung melambaikan tangan dan tersenyum kikuk ke arahnya.
“Halo.” Kataku tanpa bersuara. Masih nggak berkedip karena terlalu terpukau.
Kok aku nggak liat dia di dalam sih dari tadi? Well, aku emang nggak merhatiin sekeliling sih dari tadi. Tapi masa aku melewatkan sosok Ilham di dalam?
Dan dari sekian banyak kemungkinan aku bertemu dengan Ilham, kenapa juga aku harus bertemu dengannya di sini? Di lapangan parkir, di—euh, salon? Ini Ilham pergi ke salon? Tapi ngapain coba? Cowok-cowok yang aku kenal jarang banget datang ke salon, untuk potong rambut mereka biasanya ke barbershop. Well, kecuali kalau cowok itu—OKE. BAIKLAH. Aku mulai melantur.
Ilham balas melambaikan tangan sambil berkata, “Hai.” Ia menunjuk mobil Shirin. “Itu mobil kamu?”
Aku mengangguk. “Maaf ya ngehalangiin jalan.”
Ilham tersenyum, lalu sedikit mengangguk menandakan bahwa dia nggak terganggu. “Tukar aja. Nanti habis saya keluar, kamu parkir disini.” Ia membuka pintu mobilnya.
Aku baru saja hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba pintu salon kembali terbuka dan dua orang perempuan berjalan keluar.
Yang satu, dengan rambut bob sebahu, memakai little black dress yang membuatnya terlihat cute. Sedangkan yang satu lagi—sumpah deh, aku minder ngeliatnya. Cantik banget—khas stereotype cantik: rambut panjang, bentuk badan yang bagus, kaki jenjang. Dia memakai dress berwarna merah marun. Aku langsung terlihat seperti anak kecil habis main layangan—dekil, lusuh dan nggak menarik.
Ilham menoleh, mengikuti pandanganku.
Si cewek dengan rambut bob berbicara kepada Ilham, “Ih, udah disuruh ngeluarin mobil biar langsung berangkat juga. Yuk cepetan, aku telat nih.” Lalu ia masuk ke dalam mobil. Si cewek dengan rambut panjang menepuk lengan Ilham sekilas lalu membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalamnya.
Ilham kembali menoleh ke arahku dan tersenyum tipis, “Sorry. Bisa tolong pindahin mobilnya?”
Aku mengangguk lalu menarik pintu mobil hingga terbuka dan membenamkan diri di balik setir dengan hopeless.
Kalau memang ternyata Ilham itu no longer single and available, it should've been illegal for him to walk around like that without some sort of permit.

Read more!

Saturday, September 22, 2012

Giveaway Winner

Sebelumnya maafkan saya, ya...


Harusnya sehabis kuis untuk giveawaynya ditutup, saya umumin juga pemenangnya disini, bukan hanya di Twitter. Duh, maafin ya, soalnya baru pindah bagian, jadi kerjaan lagi banyak bangetttt *alasan.

Anyway, terima kasih banyak untuk semua yang udah berpartisipasi dalam giveaway yang kemarin. Ternyata lumayan banyak yang ikut juga. Milih pemenangnya agak sulit. So, selamat untuk Alvi Syahrin dan Dian Mayasari Azis yang beruntung masing-masing mendapatkan satu buku pilihannya.

Buat yang lain, tunggu giveaway berikutnya ya. Janji, nggak lupa ngumumin di semua media yang saya punya :D


Selamat malam minggu.


xoxo,
Nina




Read more!

Monday, September 10, 2012

Giveaway

Jadi, tiba-tiba aja tadi pingin bikin giveaway. Agak random memang. Seperti hidup saya belakangan ini yang emang agak random. Well, atau sebenernya emang selalu  random kali ya.

Hadiahnya ada untuk dua orang pemenang, yang masing-masing bisa pilih di antara ketiga buku di bawah ini:






Dan pertanyaannya gampang banget:

Novel kayak gimana sih yang kalian ingin baca selanjutnya? 

Jawabannya bebas banget, mau novel yang (pengennya) saya tulis berikutnya, atau yang selama ini udah ada imajinasinya di kepala, atau punya ide liar yang kayaknya belum ada deh novel yang bercerita tentang ide tersebut. Well, sesukanya aja lah :D

Jawabannya dikirim ke email: nina.ardianti@gmail.com dengan subject GIVEAWAY paling lama Kamis, 13 September 2012 pukul 16.30 waktu Jakarta ya. Pemenangnya diumumin malamnya. Dengan catatan saya nggak lagi banyak kerjaan kantor yang berakibat saya disuruh lembur, hehehe...

Wokaaayy, buat yang mau berpartisipasi, makasih banyak yaaa... Kalau responnya lumayan, nanti saya buat lagi giveaway berikutnya. 


xoxo,
Nina

Read more!