Meet
Cute – Part 4
“Ebuset,
baru tau gue kalau ada charity day model gitu.” Shirin tertawa disela-sela
suara gesekan gunting yang memotong rambutnya menjadi pendek. “Dan lo mau
ikutan? Emangnya lo mampu nyumbang berapa?” ia kemudian tertawa dengan nggak
sopannya.
Aku
membalik-balik halaman majalah tanpa tertarik, lalu menjawab pertanyaan Shirin
dengan nada bosan. “Yah itu kan bukan bidding kali, nggak perlu tinggi-tinggi. Beli
tiket aja udah bisa speed dating sama dia.”
“Seriously?”
Shirin mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik. “Kalau emang ternyata itu
cowok sekeren yang lo bilang, gue mau ikutan juga dong.”
“Heh!”
aku menatapnya tajam. “Finder’s keeper. Gue duluan yang nemuin!”
Shirin
tertawa lebih keras. Untung aja kanan-kirinya lagi kosong, kalau nggak kasihan
yang lain. Tawa Shirin itu supermengganggu.
Aku
menambahkan, “Kalau lo mau, lo ikutan bidding aja gih. Pemenangnya makan malam
satu jam sama Ilham. I think totally worth it.”
“Lo
kenapa ngga ikutan bidding aja?”
Aku
menggeleng. “Nggak punya uang. Hehehe... Lagian, kalau niatnya emang pengen
nyumbang, nyumbang aja, nggak usah pakai embel-embel dinner sama Ilham.”
Shirin
menatapku dengan sinis. “Tapi terus lo beli tiket untuk speed dating itu
namanya apa?”
Aku
tersenyum lebar, “Nah, kalau yang itu niatan gue emang kenalan sama Ilham. Charity
is just a bonus.”
“Gilak.”
Shirin tertawa. Aku ikutan tertawa. “Tapi gila ya, bisa bikin acara kayak gini.
Gue pikir yang kayak gini hanya ada di film atau novel-novel.”
“Kadang
ya Rin, batas antara fiksi dan realita itu tipiiisss banget.”
“Udah.
Nggak usah sok filosofis—” Kata-kata Shirin terhenti ketika ada orang yang
menghampiri.
Kayaknya
petugas parkir di depan.
Si
bapak itu bertanya, “Mbak yang punya Honda Jazz warna biru di depan ya?”
Aku
mengalihkan pandangan dari majalah yang sedang kubaca ke arah petugas parkir
salon yang sedang bertanya kepada Shirin.
Shirin
mengiyakan, dan seolah tahu apa yang berikutnya akan keluar dari mulut si
petugas parkir, ia menoleh ke arahku dan nyengir lebar. “Pretty please, Vix?”
Ini
nih salah satu alasan kenapa Shirin memintaku menemaninya potong rambut. Untuk
mindahin mobilnya kalau menghalangi mobil lain yang mau keluar. Shirin suka
nggak percaya kepada petugas parkir untuk memindahkan mobilnya. Kayaknya ada
pengalaman buruk.
Aku
mencibir tapi nggak urung meletakkan majalah yang sedang aku baca ke atas meja
dan berdiri. “Sekalian gue mau beli Quickly di depan. Lo mau nggak?”
Shirin
melirikku sambil tersenyum lebar. “Mau laahh. Choco Taro ya.”
Aku
mengambil kunci mobil yang ada di atas meja dan beranjak pergi. Baru beberapa
saat melangkah, Shirin berkata dengan suara agak keras, “Esnya minta dikit aja,
ya!”
Aku
mengabaikannya dan berjalan menuju pintu keluar. Ketika sudah sampai di halaman
parkir, aku mencari petugas yang tadi menghampiri kami ke dalam salon.
Oh
itu dia.
Sambil
berjalan menuju mobilnya Shirin, aku bertanya kepada si petugas parkir. “Yang
mana yang mau keluar, mas?”
Si
petugas menunjuk sebuah Toyota Yaris berwarna gelap yang parkir di depan mobil
Shirin. “Itu mbak.”
Aku
mengernyit. “Kok nggak ada orangnya?”
Logikanya,
kalau udah nyuruh orang untuk mindahin mobil karena dianggap menghalangi jalan
keluar, seharusnya pengemudi mobil tersebut sudah siap sedia untuk mindahin
mobilnya juga. Jadi ketika aku mundurin mobil, dia udah siap keluar, dan aku
gantian mengisi slot parkirnya.
Aku
berdiri di samping mobil Shirin dan memencet tombol unlock pada remote ketika
pintu salon terbuka dan—
Holy
shit.
Yang
barusan keluar dan berjalan tepat ke arahku adalah
Ilham-si-cowok-yang-aku-tumpahin-kopi-tadi-pagi.
Ia
masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi—tanpa jas yang mungkin
sekarang sudah masuk laundry—hanya saja lengan jasnya digulung sampai siku,
membuatnya terlihat lebih kasual.
Ia
menekan tombol pada remote untuk meng-unlock mobilnya, namun sebelum menarik
handle pintu, ia menoleh ke arahku. Ke arah
mobil Shirin yang menghalangi jalan lebih tepatnya.
Pandangannya
berhenti di arahku. Ia sedikit mengernyitkan kening ketika menyadaro aku sedang
berdiri di sisi mobil, lalu dengan canggung melambaikan tangan dan tersenyum
kikuk ke arahnya.
“Halo.”
Kataku tanpa bersuara. Masih nggak berkedip karena terlalu terpukau.
Kok
aku nggak liat dia di dalam sih dari tadi? Well,
aku emang nggak merhatiin sekeliling sih dari tadi. Tapi masa aku melewatkan
sosok Ilham di dalam?
Dan
dari sekian banyak kemungkinan aku bertemu dengan Ilham, kenapa juga aku harus
bertemu dengannya di sini? Di lapangan parkir, di—euh, salon? Ini Ilham pergi
ke salon? Tapi ngapain coba? Cowok-cowok yang aku kenal jarang banget datang ke
salon, untuk potong rambut mereka biasanya ke barbershop. Well, kecuali kalau
cowok itu—OKE. BAIKLAH. Aku mulai melantur.
Ilham
balas melambaikan tangan sambil berkata, “Hai.” Ia menunjuk mobil Shirin. “Itu
mobil kamu?”
Aku
mengangguk. “Maaf ya ngehalangiin jalan.”
Ilham
tersenyum, lalu sedikit mengangguk menandakan bahwa dia nggak terganggu. “Tukar
aja. Nanti habis saya keluar, kamu parkir disini.” Ia membuka pintu mobilnya.
Aku
baru saja hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba pintu salon
kembali terbuka dan dua orang perempuan berjalan keluar.
Yang
satu, dengan rambut bob sebahu, memakai little black dress yang membuatnya
terlihat cute. Sedangkan yang satu lagi—sumpah deh, aku minder ngeliatnya.
Cantik banget—khas stereotype cantik: rambut panjang, bentuk badan yang bagus,
kaki jenjang. Dia memakai dress berwarna merah marun. Aku langsung terlihat
seperti anak kecil habis main layangan—dekil, lusuh dan nggak menarik.
Ilham
menoleh, mengikuti pandanganku.
Si
cewek dengan rambut bob berbicara kepada Ilham, “Ih, udah disuruh ngeluarin
mobil biar langsung berangkat juga. Yuk cepetan, aku telat nih.” Lalu ia masuk
ke dalam mobil. Si cewek dengan rambut panjang menepuk lengan Ilham sekilas
lalu membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalamnya.
Ilham
kembali menoleh ke arahku dan tersenyum tipis, “Sorry. Bisa tolong pindahin
mobilnya?”
Aku
mengangguk lalu menarik pintu mobil hingga terbuka dan membenamkan diri di
balik setir dengan hopeless.
Kalau
memang ternyata Ilham itu no longer
single and available, it should've been illegal for him to walk around like that
without some sort of permit.
kak ninaaaa... ini masih ada lanjutannya kan ya? masih ada kan ya? huaaaa.... >< penasaran...
ReplyDeleteAda, Insya Allah. Kalau lagi sempet nulis. Heheheh...
DeleteNunggu apa sih? Nunggu tahu status Ilham jomblo atau nggak? Hehehe ;D
Baru maen ke sini dan baru baca Nin. Lgsg menuju cerita2 sebelumnya hehe.
ReplyDeleteDitunggu lanjutan ceritanya
Heheh... thankies ya Den.
DeleteYah begitulah mudah-mudahan tidak mengecewakan ;P
Lho, bukannya Ilham emang udah gak jomblo kan mbak? Di novel Simple Lie kan dia sdh jadian sama Rere. Atau udah putus mereka? atau gimana?
ReplyDelete*bingung*
Hehhe :D
issshh, belom baca Fly to the Sky deh pastinya. Heheheh...
Delete