Monday, October 8, 2012

Something I Wouldn't Miss...



Read more!

Friday, October 5, 2012

[short story] Meet Cute - Part 4



Meet Cute – Part 4


“Ebuset, baru tau gue kalau ada charity day model gitu.” Shirin tertawa disela-sela suara gesekan gunting yang memotong rambutnya menjadi pendek. “Dan lo mau ikutan? Emangnya lo mampu nyumbang berapa?” ia kemudian tertawa dengan nggak sopannya.
Aku membalik-balik halaman majalah tanpa tertarik, lalu menjawab pertanyaan Shirin dengan nada bosan. “Yah itu kan bukan bidding kali, nggak perlu tinggi-tinggi. Beli tiket aja udah bisa speed dating sama dia.”
“Seriously?” Shirin mengangkat sebelah alisnya dengan tertarik. “Kalau emang ternyata itu cowok sekeren yang lo bilang, gue mau ikutan juga dong.”
“Heh!” aku menatapnya tajam. “Finder’s keeper. Gue duluan yang nemuin!”
Shirin tertawa lebih keras. Untung aja kanan-kirinya lagi kosong, kalau nggak kasihan yang lain. Tawa Shirin itu supermengganggu.
Aku menambahkan, “Kalau lo mau, lo ikutan bidding aja gih. Pemenangnya makan malam satu jam sama Ilham. I think totally worth it.”
“Lo kenapa ngga ikutan bidding aja?”
Aku menggeleng. “Nggak punya uang. Hehehe... Lagian, kalau niatnya emang pengen nyumbang, nyumbang aja, nggak usah pakai embel-embel dinner sama Ilham.”
Shirin menatapku dengan sinis. “Tapi terus lo beli tiket untuk speed dating itu namanya apa?”
Aku tersenyum lebar, “Nah, kalau yang itu niatan gue emang kenalan sama Ilham. Charity is just a bonus.”
“Gilak.” Shirin tertawa. Aku ikutan tertawa. “Tapi gila ya, bisa bikin acara kayak gini. Gue pikir yang kayak gini hanya ada di film atau novel-novel.”
“Kadang ya Rin, batas antara fiksi dan realita itu tipiiisss banget.”
“Udah. Nggak usah sok filosofis—” Kata-kata Shirin terhenti ketika ada orang yang menghampiri.
Kayaknya petugas parkir di depan.
Si bapak itu bertanya, “Mbak yang punya Honda Jazz warna biru di depan ya?”
Aku mengalihkan pandangan dari majalah yang sedang kubaca ke arah petugas parkir salon yang sedang bertanya kepada Shirin.
Shirin mengiyakan, dan seolah tahu apa yang berikutnya akan keluar dari mulut si petugas parkir, ia menoleh ke arahku dan nyengir lebar. “Pretty please, Vix?”
Ini nih salah satu alasan kenapa Shirin memintaku menemaninya potong rambut. Untuk mindahin mobilnya kalau menghalangi mobil lain yang mau keluar. Shirin suka nggak percaya kepada petugas parkir untuk memindahkan mobilnya. Kayaknya ada pengalaman buruk.
Aku mencibir tapi nggak urung meletakkan majalah yang sedang aku baca ke atas meja dan berdiri. “Sekalian gue mau beli Quickly di depan. Lo mau nggak?”
Shirin melirikku sambil tersenyum lebar. “Mau laahh. Choco Taro ya.”
Aku mengambil kunci mobil yang ada di atas meja dan beranjak pergi. Baru beberapa saat melangkah, Shirin berkata dengan suara agak keras, “Esnya minta dikit aja, ya!”
Aku mengabaikannya dan berjalan menuju pintu keluar. Ketika sudah sampai di halaman parkir, aku mencari petugas yang tadi menghampiri kami ke dalam salon.
Oh itu dia.
Sambil berjalan menuju mobilnya Shirin, aku bertanya kepada si petugas parkir. “Yang mana yang mau keluar, mas?”
Si petugas menunjuk sebuah Toyota Yaris berwarna gelap yang parkir di depan mobil Shirin. “Itu mbak.”
Aku mengernyit. “Kok nggak ada orangnya?”
Logikanya, kalau udah nyuruh orang untuk mindahin mobil karena dianggap menghalangi jalan keluar, seharusnya pengemudi mobil tersebut sudah siap sedia untuk mindahin mobilnya juga. Jadi ketika aku mundurin mobil, dia udah siap keluar, dan aku gantian mengisi slot parkirnya.
Aku berdiri di samping mobil Shirin dan memencet tombol unlock pada remote ketika pintu salon terbuka dan—
Holy shit.
Yang barusan keluar dan berjalan tepat ke arahku adalah Ilham-si-cowok-yang-aku-tumpahin-kopi-tadi-pagi.
Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi—tanpa jas yang mungkin sekarang sudah masuk laundry—hanya saja lengan jasnya digulung sampai siku, membuatnya terlihat lebih kasual.
Ia menekan tombol pada remote untuk meng-unlock mobilnya, namun sebelum menarik handle pintu, ia menoleh ke arahku. Ke arah mobil Shirin yang menghalangi jalan lebih tepatnya.
Pandangannya berhenti di arahku. Ia sedikit mengernyitkan kening ketika menyadaro aku sedang berdiri di sisi mobil, lalu dengan canggung melambaikan tangan dan tersenyum kikuk ke arahnya.
“Halo.” Kataku tanpa bersuara. Masih nggak berkedip karena terlalu terpukau.
Kok aku nggak liat dia di dalam sih dari tadi? Well, aku emang nggak merhatiin sekeliling sih dari tadi. Tapi masa aku melewatkan sosok Ilham di dalam?
Dan dari sekian banyak kemungkinan aku bertemu dengan Ilham, kenapa juga aku harus bertemu dengannya di sini? Di lapangan parkir, di—euh, salon? Ini Ilham pergi ke salon? Tapi ngapain coba? Cowok-cowok yang aku kenal jarang banget datang ke salon, untuk potong rambut mereka biasanya ke barbershop. Well, kecuali kalau cowok itu—OKE. BAIKLAH. Aku mulai melantur.
Ilham balas melambaikan tangan sambil berkata, “Hai.” Ia menunjuk mobil Shirin. “Itu mobil kamu?”
Aku mengangguk. “Maaf ya ngehalangiin jalan.”
Ilham tersenyum, lalu sedikit mengangguk menandakan bahwa dia nggak terganggu. “Tukar aja. Nanti habis saya keluar, kamu parkir disini.” Ia membuka pintu mobilnya.
Aku baru saja hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba pintu salon kembali terbuka dan dua orang perempuan berjalan keluar.
Yang satu, dengan rambut bob sebahu, memakai little black dress yang membuatnya terlihat cute. Sedangkan yang satu lagi—sumpah deh, aku minder ngeliatnya. Cantik banget—khas stereotype cantik: rambut panjang, bentuk badan yang bagus, kaki jenjang. Dia memakai dress berwarna merah marun. Aku langsung terlihat seperti anak kecil habis main layangan—dekil, lusuh dan nggak menarik.
Ilham menoleh, mengikuti pandanganku.
Si cewek dengan rambut bob berbicara kepada Ilham, “Ih, udah disuruh ngeluarin mobil biar langsung berangkat juga. Yuk cepetan, aku telat nih.” Lalu ia masuk ke dalam mobil. Si cewek dengan rambut panjang menepuk lengan Ilham sekilas lalu membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalamnya.
Ilham kembali menoleh ke arahku dan tersenyum tipis, “Sorry. Bisa tolong pindahin mobilnya?”
Aku mengangguk lalu menarik pintu mobil hingga terbuka dan membenamkan diri di balik setir dengan hopeless.
Kalau memang ternyata Ilham itu no longer single and available, it should've been illegal for him to walk around like that without some sort of permit.

Read more!